Kamis, 06 April 2017

Kajian TNI

SINKRONISASI RTRW PEMBANGUNAN PROPINSI JAWA BARAT DAN RTRW PERTAHANAN DARAT KODAM III/SILIWANGI

Berikut ini adalah tulisan saya yang dimuat di Jurnal Agregasi (Aksi Reformasi Government dalam Demokrasi), Volume 4 / Nomor 2 / Tahun 2016, November 2016, ISSN No. 2337-5299, yang dikelola oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unikom Bandung.
Penelitian ini dirancang untuk memberikan gambaran dan penjelasan tentang pentingnya sinkronisasi RTRW Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat dengan RTRW Pertahanan Darat Kodam III/Siliwangi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyatukan persepsi dan menyamakan pandangan antara Pemda Propinsi Jawa Barat dengan Kodam III/Siliwangi dalam proses penyusunan RTRW Pembangunan dengan RTRW Pertahanan Darat. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur / studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Terdapat perbedaan persepsi antara Pemda Propinsi Jawa Barat dengan Kodam III/Siliwangi dalam menyusun RTRW Pembangunan yang berbasis prosperity approach dan RTRW Pertahanan Darat yang berbasis security approach; (2) Perlunya formulasi kebijakan Amdal Pertahanan sebagai katalisator dalam sinkronisasi RTRW Pembangunan dan RTRW Pertahanan Darat; (3) Perlunya kesiapan instrumental, struktural, dan kultural dalam melakukan sinkronisasi RTRW Pembangunan dengan RTRW Pertahanan Darat.
Silahkan didownload secara lengkap artikel ini untuk memperkaya wawasan tentang TNI, Pemda, dan perencanaan pembangunan berbasis pada security approach dan prosperity approach, dan mohon dengan sangat untuk mencantumkan sitasi / kutipan dalam bentuk foot note atau end note ketika mengutip artikel ini. Terimakasih.
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

PEMBERDAYAAN BABINSA DALAM MENCEGAH AKSI RADIKALISME

Berikut ini adalah tulisan saya yang dimuat di Jurnal Karya Vira Jati, Edisi 01, Mei 2016, ISSN : 0216.1257, yang dikelola oleh Seskoad Bandung, Mei 2016.
Tulisan ini ingin menguraikan tentang pemberdayaan Babinsa di tengah masyarakat dalam mendeteksi, mengidentifikasi, dan mencegah aksi radikalisme yang tercermin dalam  gerakan terorisme, ekstrimisme, dan fundamentalisme. Babinsa sebagai ujung tombak TNI AD di tengah masyarakat desa / kelurahan harus diberdayakan dari aspek personil, anggaran, sarana prasarana, dan metode / piranti lunak. Hal ini penting dilakukan agar supaya Babinsa mampu melaksanakan tugas pokok untuk mencegah aksi radikalisme sehingga membantu TNI AD dalam menjaga keutuhan NKRI dari berbagai ancaman.
Silahkan didownload secara lengkap artikel ini untuk memperkaya wawasan tentang TNI, Babisa, radikalisme, dan mohon dengan sangat untuk mencantumkan sitasi / kutipan dalam bentuk foot note atau end note ketika mengutip artikel ini. Terimakasih.
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

SYARAT-SYARAT KESIAPAN PENYELENGGARAAN PROGRAM BELA NEGARA

Berikut ini adalah artikel saya yang dimuat di Jurnal Pertahanan Desember 2015, Volume 5, Nomor 3, ISSN : 2087-9415, yang dikelola oleh Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) Bogor. Artikel ini mengangkat tentang kesiapan bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan program bela negara. Perkembangan lingkungan strategis di tingkat global dan regional menimbulkan ancaman terhadap negara, baik ancaman militer maupun nir militer sehingga memerlukan kesiapan negara untuk melakukan langkah antisipasi. Salah satu langkah kesiapan menghadapi musuh adalah menggelar program bela negara bagi semua masyarakat. Dalam hal ini masyarakat harus memiliki semangat nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air dan kemampuan fisik dan disiplin untuk membela negara ketika negara dalam keadaan perang menghadapi musuh. Bela negara sangat penting bagi bangsa Indonesia mengingat sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan semesta dimana rakyat merupakan komponen pendukung yang harus siap membela negara dari berbagai ancaman musuh. Diperlukan kesiapan yuridis, sumber daya manusia, anggaran, sarana prasarana dan kultural dalam menyelenggarakan program bela negara.
Silahkan didownload secara lengkap artikel ini untuk memperkaya wawasan tentang bela negara, dan mohon dengan sangat untuk mencantumkan sitasi / kutipan dalam bentuk foot note atau end note ketika mengutip artikel ini. Terimakasih.
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ALLISON

Berikut ini adalah tulisan tentang ANALISIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM  PENYUSUNAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI : “IMPLEMENTASI MODEL ANALISIS GRAHAM T. ALLISON”. Dalam perspektif “Decision Making Process”, Graham T Allison dalam bukunya Essence of Decision: Explaining The Cuban Missile Crisis, yang diterbitkan Boston: Little, Brown and Company tahun 1971, mengajukan tiga model pengambilan keputusan, yaitu Model Aktor Rasional (MAR), Model Proses Organisasi (MPO), dan Model Politik Birokratik (MPB). Ketiga model tersebut akan dipergunakan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan dalam penyusunan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Silahkan didownload untuk memperkaya khazanah pustaka tentang TNI dan model pengambilan keputusan, dengan tetap mencantumkan sumber rujukan dalam setiap sitasi / kutipan. Terimakasih.
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

SINERGI DALAM MENGHADAPI ANCAMAN CYBER WARFARE

Berikut ini adalah artikel saya yang dimuat di Jurnal Pertahanan April 2015, Volume 5, Nomor 1, ISSN : 2087-9415, yang dikelola oleh Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) Bogor. Artikel ini mengangkat tentang globalisasi, teknologi dan ancaman cyber warfare serta kesiapan Indonesia dalam menghadapinya. Inti artikel ini adalah : Di era globalisasi, hakekat ancaman tidak hanya berasal dari aspek militer dan fisik semata, melainkan juga datang dari ancaman nir militer dan non fisik, salah satunya adalah ancaman dunia maya. Saat ini, dunia telah memasuki era dunia maya, yang melahirkan kejahatan dunia maya, yang tentunya sangat potensial menimbulkan ancaman perang dunia maya. Indonesia memerlukan tentara dunia maya untuk menghadapi ancaman perang dunia maya. Kementerian Pertahanan RI harus menjadi ujung tombak dalam proses menyusun kebijakan pertahanan dunia maya untuk menghadapi ancaman perang dunia maya. Sinergi antar pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait untuk menghadapi perang dunia maya adalah kunci sukses. Silahkan didownload secara lengkap artike ini untuk memperkaya wawasan tentang cyber warfare, dan mohon dengan sangat mencantumkan sitasi / kutipan dalam bentuk foot note atau end note ketika mengutip artikel ini. Terimakasih.
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

INDUSTRI PERTAHANAN DALAM KONTEKS SISTEM PERTAHANAN NEGARA

Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si
Abstrak
Tulisan ini ingin mendeskripsikan tentang peranan industri pertahanan dalam konteks sistem pertahanan negara. Pertahanan negara memerlukan persenjataan militer yang dapat diperoleh dengan, salah satunya, mengembangkan industri pertahanan, dimana industri strategis nasional dapat dijadikan sebagai penopang yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan peralatan pertahanan negara. Langkah pengembangan industri pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah harus melibatkan kalangan industri dan perguruan tinggi sebagai stakeholders yang kompeten dalam proses teknologi dan industri pertahanan.
Kata Kunci : Industri Strategis, Industri Pertahanan, Alutsista Militer, dan
Pertahanan Negara.
Pengantar
Pertahanan negara merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan Bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dengan kata lain, TNI merupakan alat pertahanan suatu bangsa dan negara dan juga sebagai penopang diplomasi internasional bagi Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pembangunan kekuatan TNI merupakan suatu keharusan dan keniscayaan. TNI merupakan komponen utama pertahanan nasional dalam menghadapi ancaman dan gangguan yang bersifat militer baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara.
Pada saat ini, kekuatan pertahanan Indonesia berada dalam kondisi ”under capacity”, bahkan apabila disejajarkan dengan sesama anggota negara ASEAN, Indonesia berada pada posisi terbawah. Rendahnya kemampuan untuk menerapkan teknologi baru di bidang pertahanan menyebabkan peralatan militer yang dimiliki kebanyakan sudah usang dan ketinggalan jaman dengan rata-rata usia lebih dari 20 tahun.
Data tahun 2005 menunjukkan bahwa kekuatan matra darat, kendaraan tempur berbagai jenis yang jumlahnya 1.766 unit, hanya 1.077 unit (60,99 persen) yang siap untuk dioperasikan; kendaraan motor berbagai jenis yang jumlahnya mencapai 47.097 unit, yang siap dioperasikan sebanyak 40.063 unit (85,04 persen); dan pesawat terbang berbagai jenis yang jumlahnya mencapai 61 unit, hanya 31 unit (50,82 persen) yang siap untuk dioperasikan.
Sementara kekuatan matra laut, kapal perang (KRI) yang jumlahnya 114 unit, hanya 61 unit (53,51 persen) yang siap untuk dioperasikan; kendaraan tempur Marinir berbagai jenis yang jumlahnya mencapai 435 unit, yang siap dioperasikan hanya 157 unit (36,09 persen); dan pesawat udara yang jumlahnya mencapai 54 unit, hanya 17 unit (31,48 persen) yang siap untuk dioperasikan.
Sedangkan untuk kekuatan matra udara, pesawat terbang berbagai jenis yang jumlahnya 259 unit, hanya 126 unit (48,65 persen) yang siap untuk dioperasikan dan peralatan radar sebanyak 16 unit, hanya 3 unit (18,75 persen) yang siap untuk dioperasikan.
Dengan wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan, laut maupun udara, maka kuantitas, kualitas serta kesiapan operasional alat utama sistem senjata (alutsista) sebesar itu sangat muskil untuk menjaga integritas wilayah dengan optimal. Sementara itu, anggaran pertahanan hanya mencapai 1,1 persen dari Produk Domestik Bruto atau 5,7 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional. Di sisi lain, Singapura sebagai negara pulau telah mengalokasikan anggaran pertahanan nasionalnya mencapai 5,2 persen dari Produk Domestik Bruto atau 21 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasionalnya.
Kondisi ideal dalam periode lima tahun ke depan anggaran pembangunan pertahanan seharusnya mencapai 3 – 4 persen dari Produk Domestik Bruto. Rendahnya anggaran pertahanan ini menyebabkan upaya-upaya peningkatan kemampuan kekuatan pertahanan sangat sulit dilakukan. Padahal diplomasi luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional secara signifikan memerlukan dukungan kekuatan pertahanan yang memadai.
Celakanya lagi, sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, Indonesia mendapatkan sanksi, berupa embargo militer yang dijatuhkan oleh AS, sebagai akibat adanya dugaan dan persepsi bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Militer Indonesia di Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat Agustus 1999. Dengan embargo militer tersebut, kekuatan pertahanan Indonesia, khususnya pemenuhan alusista TNI mengalami hambatan mengingat Indonesia masih sangat tergantung dalam hal persenjataan militer dengan negara luar, khususnya AS.
Berkenaan dengan kondisi di atas, maka tantangan yang dihadapi pembangunan nasional ke depan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan alutsista untuk meningkatkan kemampuan pertahanan pada tingkat minimum essential force. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana dengan skala kekuatan minimum tersebut, mampu meningkatkan jumlah dan kondisi siap alutsista untuk meredam berbagai ancaman pertahanan baik yang berasal dari dalam negeri berupa tradisional-konvensional maupun ancaman non tradisional-non konvensional. Dalam konteks inilah, pengembangan industri pertahanan dalam konteks sistem pertahanan negara sudah saatnya untuk diwacanakan dan diaksikan guna mewujudkan kemandirian bangsa tanpa tergantung dengan pihak asing.
Berangkat dari realitas obyektif tersebut, tulisan ini ingin menyoroti industri pertahanan dikaitkan dengan industri strategis dalam konteks sistem pertahanan negara. Pertanyaan penting yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah : Apa yang dimaksud dengan industri pertahanan? Mengapa Industri Pertahanan memerlukan dukungan dan peran serta industri strategis nasional? Bagaimana industri strategis dimanfaatkan untuk industri pertahanan dalam konteks sistem pertahanan negara? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam mengembangkan industri pertahanan?
Konteks Industri Pertahanan
Secara kontekstual, industri pertahanan adalah proses pembuatan (production) dan pengembangan (development) berbagai barang/peralatan yang berkaitan dengan aspek pertahanan, khususnya militer, seperti alutsista (Tank, Helly Copter, Pesawat Terbang, Kapal Perang, Kapal Selam, dll.) dan peralatan pendukung lainnya.
Tujuan pembangunan industri pertahanan adalah untuk mencukupi kebutuhan pertahanan negara sehingga tidak tergantung pada pasokan/suply dari negara lain, apabila negara yang bersangkutan terkena sanksi internasional, berupa embargo militer.
Syarat dibangunnya industri pertahanan adalah kemampuan sumber daya manusia yang handal, sumber daya alam yang potensial, dan sumber daya buatan yang kuat. Kemampuan dasar dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang mutlak dalam menopang berhasilnya industri pertahanan. Kekuatan anggaran yang besar untuk pembiayaan industri pertahanan merupakan kebutuhan wajib yang harus disediakan jika ingin mengembangkan industri pertahanan.
Manfaat yang dapat dipetik dengan pembangunan industri pertahanan adalah keleluasaan dalam memproduksi sendiri peralatan militer sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kondisi wilayah, dan karakter ancaman yang diprediksi mengancam kedaulatan negara tersebut. Negara yang bersangkutan tidak perlu susah payah membeli peralatan militer dari negara lain, yang prosesnya berlangsung lama, harganya mahal, dan seringkali dikaitkan dengan syarat politis tertentu.
Industri Strategis Sebagai Penopang
Sesuai kebijaksanaan Pemerintah yang dituangkan dalam Keppres RI No. 59/1983 dan No. 50/1986, industri strategis dikelompokkan dalam Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang merupakan Badan Pemerintah di bidang peningkatan kemampuan dan penguasaan Iptek dengan menerapkan strategi penguasaan teknologi dibidang masing-masing dalam rangka industrialisasi Indonesia. Strategi industrialisasi Indonesia dilaksanakan dengan penerapan transformasi alat utama TNI dalam rangka menjadikan bangsa Indonesia kuat dan mandiri dalam upaya-upaya penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Dalam mentransformasikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan mandiri dalam aspek industrialisasi dan teknologi, dilaksanakan melalui empat tahapan/ yaitu :
a. Tahap Penguasaan Teknologi.
b. Tahap Integrasi Teknologi.
c. Tahap Pengembangan Teknologi.
d. Tahap Petaksanaan Penelitian Dasar dan Penguasaan Teknologi.
Selain itu, telah lahir pula Kepres RI No. 40 tahun 1999 tentang Dewan Pembina Industri. Kepres tersebut menyatakan bahwa dalam rangka penetapan kebijakan di bidang pembinaan dan pengembangan jangka panjang industri-industri yang bersifat strategis, diperlukan penyempurnaan fungsi dan susunan Dewan Pembina Industri Strategis, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Dewan.
Dewan bertugas membantu Presiden dalam rangka penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan jangka panjang industri-industri yang bersifat strategis, melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif serta penyelarasan kebijakan antar departemen teknis dan lembaga pemerintah lainnya, dalam rangka mendukung per-kembangan industri strategis.Dalam pelaksanaan tugasnya, Dewan menetapkan bidang dan jenis industri yang digolongkan sebagai industri strategis serta memantau perkembangan peran industri strategis tersebut dalam pembangunan nasional.
Keberadaan Industri-Industri Strategis dalam negeri yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu menghasilkan produksi alat peralatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan negara, sementara kebutuhan akan alutsista yang diperlukan oleh TNI sangat besar sekali
Industri strategis sebagai salah satu komponen dalam sistem pertahanan negara, keberadaannya perlu diorganisir dengan sasaran tercapainya upaya yang maksimal dalam mewujudkan penyelenggaraan pertahanan negara. Beberapa industri strategis yang ada saat ini yang telah memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta potensial untuk dikembangkan ke arah industri pertahanan, antara lain :
1. PT. DI (Dirgantara Indonesia)
Industri wahana matra udara dan sistem senjata (roket dan terpedo) yang diproduksi PT.DI dilaksanakan melalui lisensi pengembangan, mempunyai misi sebagai pusat keunggulan teknologi kedirgantaraan.
Dalam tahap 1, penguasaan teknologi diawali dengan memproduksi atas dasar (isensi NC-212 dan NBO-105, kemudian diperluas dengan NBELL 421, NAS-332. Pada tahap II, integrasi teknologi dilaksanakan dengan bekerja sama dengan mitra usaha dari Spanyol, CASA, dalam membuat CN-235. Kesemuanya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan sipil/komersil maupun militer.
Dalam rangka pengembangan telah dilakukan kerja sama antara lain dengan :
a) MBB dan BOEING dalam rangka pembuatan pesawat ATRA 90 (Advance Tecnology Regional Air-craft), yaitu pesawat penumpang berteknologi canggih abad ke 21.
b) Dengan MBB untuk desain dan pengembangan Hellikopter BN-109 untuk versi sipil militer.
c) Dengan General Dynamic untuk “offset” pembuatan komponen tertentu pesawat F-16 Fighting Falcon.
d) Untuk sub kontak komponen Boeing-737, 767.
PT.DI juga telah berhasil menembus pasar internasional dengan mengekspor pesawat ke Thailand, Guam dan Malaysia. Dalam rangka pengembangan produk sendiri (tahap III pengembangan teknologi) telah dikembangkan N-250, pesawat komuter dengan kapasitas 50-60 penumpang dan jarak tempuh 300-400 Km yang telah masuk ke pasaran domestik dan dunia pada tahun 1999 (20 tahun berdirinya PT. DI).
Di samping hal tersebut diatas, PT. DI mempunyai kemampuan dalam pembuatan peralatan :
a) Rocket dari udara ke darat, dari udara ke udara serta dari darat ke udara kaliber 700 mm FFAR.
b) Chasis peluncur peluru kendali dan farelage peluru kendali Rapier.
c) Memproduksi Spare Part Electronic merriam maupun radar.
2. PT. PINDAD
Merupakan industri senjata ringan dan amunisi serta mesin perkakas dengan misi sebagai pusat keunggulan teknologi senjata dan amumsi. Pada saat ini membuat senapan ringan kaliber 5,56 dengan lisensi FNC-FN Herstal Belgia yang dimodifikasikan disesuaikan dengan postur TNI dengan kode SS-1, kapasitas produksi 20.000 pucuk pertahun.
Produksi amunisi dilaksanakan di Turen, Jawa Timur, meliputi berbagai kaliber yaitu 5,56 mm (M 193 dan SS-109), 9 mm 30 inch Polri, 7,62 mm dan 12,7 mm dengan kapasitas seluruhnya lebih dari 50 juta butir pertahun, per shift serta pembuatan granat tangan, granat mortir (60 mm, 81 mm dan 120 mm) dan bahan peledak. Mempunyai fasilitas pengisian bahan peledak dengan kapasitas 600 ton pertahun per shift.
Dalam rangka menunjang kemandirian upaya pertahanan negara PT. PINDAD akan memproduksi berbagai peralatan pertahanan lainnya, seperti kendaraan bermotor taktis (Rantis) dan kendaraan tempur (Ranpur) ringan dan MKB (Munisi Kaliber Besar). Di sisi lain, PT PINDAD telah memproduksi barang non militer, antara lain sistem Rem untuk kereta api (lisensi Knorr), Rail Fastener (lisensi Holandia Kloos), Generator Listrik (lisensi Siemens) dan mesin perkakas dengan lisensi dari Taiwan.
PT. PINDAD telah mampu memenuhi kebutuhan penyediaan alat tempur TNI dan mengekspor amunisi berbagai kaliber ke berbagai negara. Kemampuan lain yang dimiliki ialah merancang dan membangun Alat utama TNI, diawali dengan merancang bangun amunisi Dakhura pada tahun 1990 dan telah diproduksi tahun 1992, Revolver Polri yang mulai diproduksi dan diserahkan kepada Polri pada tahun 1994 melalui kerja sama dengan BPIS, BBPT, Dislitbang Angkatan/Polri dan instansi terkait lainnya.
3. PT. DAHANA (Industri Bahan Peledak Dan Propellant).
Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah, Perum DAHANA telah diperserokan agar dapat dikembangkan menjadi industri bahan peledak dan propeliant.
Dewasa ini, DAHANA telah memproduksi bahan peledak industri dan dalam waktu dekat akan dikembangkan agar mampu memproduksi propeliant jenis single/double base untuk amunisi, double base dan composite untuk peroketan serta bahan petedak industrial jenis emulsion. Hingga saat ini, DAHANA merupakan industri tunggal yang mempunyai wewenang berdasarkan keputusan Presiden untuk pengadaan, penjualan dan distribusi bahan peledak di Indonesia.
4. PT. KRAKATAU STEEL.
Sebagai industri baja terpadu yang mengelola biji besi menjadi biji spons untuk dijadikan billet dan slab sebagaimana bahan baku besi baja lainnya. Selain itu juga dihasilkan produk-produk berupa besi beton, baja lembaran serta baja profH, yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kapal (PT. PAL), gerbong kereta api (PT. INKA), mesin perkakas (PT. PINDAD), serta bahan peralatan pertahanan negara pada umumnya. Sebagai tulang punggung industri baja nasional, maka PT. Krakatau Steel mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknologi besi baja dan memiliki kapasitas produksi:
a) PTNIk Besi Spons : 2.580.000 ton/tahun.
b) PTNIk Billet Baja : 800.000 ton/tahun.
c) PTNIk Slab Baja : 1,500.000 ton/tahun.
d) PTNIk Hot Coil & Plate : 2.000.000 ton/tahun.
5. PT. LEN INDUSTRI
Sesuai dengan kebijakan pemerintah, unit produksi LEN-LIPI dijadikan LEN-BPIS dan pada tahun 1991 telah diperserokan menjadi PT. LEN Industri, tahap selanjutnya akan dikembangkan sebagai industri peralatan elektronika profesional dan komponen yang dapat menunjang kemandirian industri elektronika di dalam negeri. Saat ini, PT. LEN Industri telahh memproduksi berbagai peralatan elektronika sendiri seperti SBK, Teleprinter (lisensi Siemens), PCM, Radio/TV Broadcast.
Di bidang elektronika untuk pertahanan dan keamanan, akan dikembangkan kemampuan memproduksi/memperbaiki radar, sistem kontrol, perakitan K3I dan Avionic, di samping itu saat ini telah mampu mengekspor berbagai komponen elektronika antara lain ke negeri Belanda.
6. PT. INTI (Industri Telekomunikasi dan Informatika)
Merupakan Industri telekomunikasi dan Informatika yang menghasilkan alat telekomunikasi untuk berbagai kebutuhan termasuk untuk pertahanan dan keamanan. PT INTI mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknologi komunikasi dan informatika telah memproduksi Sistem Saluran Telekomunikasi Microwave, Sistem Telepon Digital, SBK, STBK. Telah dikembangkan teknologi Sistem Packsanet (Packed Satelfite Network) yang dapat memenuhi kebutuhan pertukaran data nasional dengan memanfaatkan Satelit Palapa. PT. INTI telah pula berhasil mengekspor produk SBK ke Malaysia. Produk untuk kepentingan TNI antara lain Telepon Militer Lapangan.
7. PT. BARATA INDONESIA.
Dalam penguasaan teknologi produksi untuk konstruksi baja/ plat dan bejana, PT. BARATA INDONESIA telah mampu membuat perakitan penuh, sedangkan pada produk lainnya alat berat, pengecoran dan permesinan masih dalam tahap perakitan sebagian serta mempunyai potensi untuk membuat berbagai jenis alat berat untuk konstruksi. PT. BARATA INDONESIA mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknotogi atat berat, pengecoran dan permesinan.
8. PT. BBI (Boma Bisma Indra).
Merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri permesinan (diesel), konstruksi peralatan PT NIk dan rekayasa industri. Sebagai industri pembuatan motor diesel untuk berbagai aplikasi antara lain pembangkit listrik, otomotif, marine dan motor diesel sampai 500 Pk kerja sama dengan KHD (Khobhner Humbolelt Deusz) Jerman. PT. BBI mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknonogi industri motor bakar (diesel) dan peralatan industri.
Kontribusinya Terhadap Sishaneg
Kerjasama dengan industri strategis untuk kepentingan militer dalam rangka pertahanan negara merupakan hal yang sangat penting untuk segera direalisasikan. Kerjasama Dephan dan TNI dengan lembaga-lambaga lain merupakan bagian penting dari kebijakan strategi pertahanan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2002, kerjasama tersebut dilaksanakan dalam rangka pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI dan komponen pertahanan lainnya.
Kerjasama dimaksud memiliki nilai strategis, karena dapat mendorong percepatan menuju kemandirian nasional di bidang pertahanan, termasuk memberi ruang bagi sektor lain untuk terlibat dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Melalui kerjasama tersebut Departemen Pertahanan dan TNI akan berusaha untuk ikut mendorong pengembangan industri nasional agar di samping menghasilkan produk utamanya juga mengembangkan kemampuan memproduksi alat peralatan yang dibutuhkan bagi keperluan pertahanan.
Dalam rangka pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara, kerjasama dengan departemen dan instansi pemerintah lainnya penting dilaksanakan. Kerjasama tersebut diperlukan dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Wujud nyata kerjasama yang harus dilakukan adalah :
1) PT. DI (Dirgantara Indonesia). Secara umum keterlibatan PT. PT. DI dalam pengembangan Alat peralatan pertahanan negara akan lebih dominan untuk kepentingan sistem pertahanan udara. Dilihat dari beberapa produk seperti helikopter dan persenjataannya akan dapat dimanfaatkan dalam sistem pertahanan negara aspek darat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dalam masa damai maupun dalam operasi yang dilaksanakan bila terjadi perang. Namun demikian pertahanan negara aspek darat tidak hanya bertumpu pada hasil produk saja yang dapat dikelola sebagai komponen pertahanan negara, melainkan para pekerja yang bila dimobilisasi dapat dimanfaatkan sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
2) PT. PINDAD. Keterkaitan PT. PINDAD dengan sistem pertahanan sangat besar sekali baik dalam masa damai maupun masa perang. Dalam mengatasi berbagai permasalahan separatis yang terjadi dewasa ini, PT Pindad telah mengambif peran dalam penyediaan alat peralatan perang berupa senjata dan amunisi, baik untuk keperluan tempur maupun latihan.
3) PT. DAHANA (Industri Bahan Peledak Dan Propellant). Keterkaitan PT. DAHANA dengan sistem pertahanan negara adalah hasil produksi yang telah ada dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan kemampuan alat peralatan mititer yang ada saat ini. Di sisi lain, mempermudah mengorganisir kemampuan personel dan alat peralatan yang ada sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung dalam sistem pertahanan negara.
4) PT. KRAKATAU STEEL. Keterlibatan PT Krakatau Steel dalam sistem pertahanan negara cukup banyak, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia yang mampu mendukung pembangunan nasional. Dalam pemanfaatannya untuk keperluan alat peralatan militer, PT Krakatau Steel dapat menyediakan bahan-bahan baku dalam pembuatan jembatan, suku cadang Alat Berat, penyediaan bahan baku rekayasa Alat Berat menjadi Tank Mounted Track Width Plow dan bahan baku untuk pembuatan berbagai jenis rintangan kawat duri, rintangan yang terbuat dari baja.
5) PT. LEN INDUSTRI. Keterkaitan PT. LEN Industri dengan sistem pertahanan negara adalah kebutuhan akan alat peralatan elektronika yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas baik di masa damai maupun perang.
6) FT. INTI (Industri Telekomunikasi dan Informatika). Diharapkan mampu memproduksi alat peralatan telekomunikasi yang dapat digunakan untuk kepentingan TNI yang mampu bersaing dengan kemajuan telekomunikasi komersial saat ini.
7) PT. BARATA INDONESIA. Keterkaitan PT. BARATA INDONESIA dengan sistem Pertahanan negara banyak sekali, khususnya dalam pengembangan Alat Berat baik dalam rekayasa, rancang bangun maupun modifikasi alat berat konstruksi sebagai alat berat yang berfungsi dalam pertempuran serta rekayasa menjadi senjata.
8) PT. BBI (Boma Bisma Indra). Keterkaitan PT. BBI dengan sistem pertahanan negara adalah mampu mendukung pengembangan industri otomotif nasional dan diharapkan mampu mendukung pengembangan otomotif yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan militer khususnya TNI, dalam pelaksanaan tugas.
Langkah Pengembangan Industri Pertahanan
Salah satu bentuk kerjasama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan industri pertahanan adalah mensinergikan perkembangan industri strategis, melalui model kemitraan tiga pelaku ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu : industri, perguruan tinggi dan institusi pertahanan sebagai pengguna. Langkah yang dikembangkan melalui kerjasama tersebut adalah :
1) Kerjasama bidang kedirgantaraan, perkapalan, tehnik sipil, industri alat berat, otomotif, elektronika, informatika dan industri nasional lainnya.
2) Melaksanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan engineering, meliputi keahlian dan kemampuan pengembangan dan pembuatan pesawat angkut militer, pesawat misi khusus, kapal patroli cepat, kapal perang, kendaraan tempur militer sistem senjata,sistem jaringan komunikasi, pusat komando dan pengendalian serta sistem informasi.
3) Memperdayakan industri nasional dalam rangka menciptakan kemandirian, sekaligus memperkecil ketergantungan di bidang pertahanan terhadap negara lain.
4) Kerjasama pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan lainnya.
5) Kerjasama penelitian dan pengembangan pertahanan dikembangakan guna menghasilkan kajian-kajian tentang konsep pertahanan, baik yang berkaitan dengan tehnologi, manajemen maupun sumber daya manusia.
6) Pengembangan partisipasi industri strategis dalam perbaikan, pemeliharaan, penggantian peralatan pertahanan, serta pemanfaatan alutsis produk industri pertahanan dalam negeri.
7) Kerjasama pemerintah dengan perguruan tinggi, lembaga industri strategis, serta masyarakat dalam upaya pengembangan kerjasama bidang kedirgantaraan, perkapalan, teknik sipil, industri alat berat, otomotif, elektronika, dan industri nasional lainnya.
8) Pelaksanaan kerjasama pendidikan dan latihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan engineering di bidang peralatan pertahanan.
9) Pengembangan peran aktif Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Idustri Pertahananm dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pertahanan khususnya dalam rekayasa prototipe alutsista guna mengurangi ketergantungan terhadap peralatan dari negara lain.
10) Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan engineering, meliputi keahlian dan kemampuan mengembangkan dan pembuatan pesawat angkut militer, pesawat misi khusus, kapal patroli ce-pat, kapal perang, kendaraan tempur militer, sistem senjata, sistem jaringan komunikasi, pusat komando dan pengendalian serta sistem informasi.
11) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta industri nasional dalam rangka pembangunan dan pengembangan kekuatan pertahanan negara serta menciptakan kemandirian, sekaligus memperkecil ketergantungan di bidang pertahanan terhadap negara lain.
Catatan Kaki
Substansi pernyataan di atas dapat dijumpai dalam UUD 1945 Hasil Amandemen
Esensi pernyataan di atas dapat dilihat dalam UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Materi pernyataan di atas dapat dilihat dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI
Selain itu, dengan ditetapkannya Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, upaya meningkatkan profesionalisme TNI dihadapkan pada kesejahteraan prajurit yang masih memprihatinkan. Selanjutnya upaya mendayagunakan potensi pertahanan negara dengan meningkatkan peran aktif masyarakat masih menghadapi beberapa kendala. Selain rendahnya kemampuan pembiayaan pemerintah dan kurangjelasnya peraturan perundang-undangan adalah bagaimana membangkitkan kesadaran bela negara bagi setiap warga negara yang sampai saat ini masih banyak yang belum memahami arti penting kuatnya pertahanan bagi suatu negara
Ron Matthews & Annie Maddison (ed.), Internatioal Defence Management Studies 2002, (London : Cranfield University Press), hlm. 67-69.
Daftar Pustaka
Ron Matthews & Annie Maddison (ed.), Internatioal Defence Management Studies 2002, (London : Cranfield University Press)
Dennis M. Drew & Donald M. Snow, Menyusun Strategi, terjemahan, (Jakarta : Pusdiklat Bahasa Dephan, 2005).
Wee Chow, Lee Khai Sheang & Bambang Wlujo Hidayat, Sun Tzu : Perang dan Manajemen, (Jakarta : Gramedia, 1992).
Edward N. Luttwak, Strategy : The Logic of War and Peace, (Harvard : Harvard University Press, 1987).
Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post cold war Era, (New york : harvester Wheatsheaf, 1991).
William R. Polk, Neighbors and Stranger : The Fundamentals of Roreign Affairs, (Chicago : Chicago University Press, 1997).
Colin S. Gray, Policy, Strategy & Military Technology : Weapons Don’t Make War, (Kansas : University Press of Kansas, 1993).
Barry Buzan, An Introduction to Strategies Studies, (London : Macmillan Press, 1990).
Wan Usman, Modul Manajemen Strategik, (Jakarta : Program Ketahanan Nasional Pascasarjana UI, 2002).
UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
UU Nomo 34 Tahun 2004 Tentang TNI
Keppres RI No. 59/1983 dan No. 50/1986 Tentang Industri Strategis
Kepres RI No. 40 Tahun 1999 Tentang Dewan Pembina Industri.
Biodata Penulis
Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si, Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNJANI, Ketua Pusat Kajian Kepemerintahan dan Kemasyarakatan (PK3) FISIP UNJANI, Staf Peneliti Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) UNJANI, dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung.
Categories: Kajian TNI | 1 Comment

KEBIJAKAN DAN STRATEGI POTENSI PERTAHANAN NEGARA

Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si
Abstrak
Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana kebijakan dan strategi yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam mengelola potensi pertahanan negara. Sistem pertahanan yang dianut oleh Bangsa Indonesia adalah sistem pertahanan semesta (sishanta) berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, sehingga mengharuskan untuk segera melakukan identifikasi dan inventarisasi segala sumber daya pertahanan untuk ditransformasikan dalam mendukung pertahanan negara yang modern. Pengelolaan potensi pertahanan negara harus melibatkan seluruh komponen pertahanan negara sehingga akan mampu mewujudkan “minimum essential force” yang digalang oleh Dephan dan TNI.
Kata Kunci : kebijakan, strategi, pertahanan, TNI.
A. Pendahuluan
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai komponen cadangan dan pendukung, dimana setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menegaskan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI mengamanatkan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).
Dalam rangka mendukung sistem pertahanan semesta, pengelolaan potensi pertahanan merupakan sebuah keharusan. Pengelolaan potensi pertahanan dirancang secara dini untuk menyiapkan rakyat sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara sehingga dapat mendukung komponen utama pertahanan negara. Tanpa adanya pengelolaan potensi pertahanan, maka niscaya upaya untuk mewujudkan sistem pertahanan semesta akan mengalami kendala dan hambatan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, makalah ini akan menyoroti tentang permasalahan yang dihadapai oleh TNI, khususnya TNI AD, dalam melakukan pengelolaan potensi pertahanan. Agar supaya tulisan ini sistematis dan runut, maka makalah ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut : Apa yang dimaksud dengan potensi pertahanan? Mengapa TNI melakukan tugas pengelolaan potensi pertahanan? Apa saja kendala yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan potensi pertahanan? Bagaimana kebijakan dan strategi pengelolaan potensi pertahanan?.
B. Pengertian Potensi Pertahanan
Hakekat Pertahanan Negara adalah segala upaya Pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan terhadap kekuatan sendiri. Sifat semesta penyelenggaraan itu meliputi seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, sarana prasarana dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara. Potensi sumber daya nasional adalah segala sumber daya yang dapat didayagunakan melalui proses transformasi menjadi potensi kekuatan pertahanan negara yang pada saatnya diperlukan dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan pertahanan negara.
Transformasi dari sumber daya nasional menjadi potensi kekuatan pertahanan negara salah satunya dimaksudkan untuk membangun komponen cadangan dan komponen pendukung, dalam rangka memperkuat dan memperbesar komponen utama pertahanan negara, melalui kebijakan :
1. Transformasi potensi sumber daya manusia menjadi prajurit TNI (komponen utama), menjadi warga negara yang siap melaksanakan bela negara secara fisik dan kekuatan pendukung upaya pertahanan negara sesuai profesinya, serta perlindungan masyarakat dari bencana.
2. Transformasi potensi sumber daya alam / buatan berupa sumber daya flora, fauna, bahan tambang, sumber energi dan sumber daya lainnya yang memiliki nilai strategis, baik di darat, laut dan dirgantara menjadi cadangan material strategis dalam rangka mendukung logistik wilayah sebagai logistik tempur.
3. Transformasi sarana dan prasarana nasional menjadi komponen cadangan dan komponen pendukung dalam rangka perlawanan bersenjata maupun tidak bersenjata. Bersifat fisik dalam bentuk sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, industri, pendidikan dan latihan, depo logistik, migas dan distribusinya, kesehatan, ketenagalistrikan dan perbengkelan/ otomatif.
4. Transformasi kemampuan iptek nasional menjadi kekuatan pertahanan negara. Kemampuan iptek nasional dan industri strategis untuk memproduksi barang dan jasa, penelitian dan pengembangan dalam rangka mendukung kebutuhan pertahanan/ alat utama sistem senjata.
5. Transformasi wilayah negara dengan menata wilayah negara menjadi bentuk tata ruang yang mampu mendukung terselenggaranya upaya pertahanan negara secara efektif dan efesien.
Dari kebijakan umum transformasi sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan tersebut, komponen cadangan dan komponen pendukung sebagai bagian dari komponen pertahanan negara adalah salah satu wujud akhir yang hendak dituju. Dalam hal ini cakupan sumber daya nasional yang hendak ditransformasikan tidak hanya meliputi sumber daya manusia semata, tetapi juga meliputi seluruh unsur sumber daya nasional yakni sumber daya alam dan buatan, serta sarana dan prasarana.
C. Pengelolaan Potensi Pertahanan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, tugas Menhan menetapkan kebijakan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden, sedangkan Panglima TNI sebagai pengguna segenap komponen pertahanan negara dalam penyelenggaraan operasi militer berdasarkan undang-undang.
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, mengamanatkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Kedudukan dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di bawah Presiden, sedangkan dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan adminstrasi, TNI dibawah koordinasi Dephan.
Pengelolaan Sishankamrata pada masa lalu dilaksanakan oleh TNI, karena Panglima TNI masih merangkap sebagai Menhankam dan implementasi pelaksanaannya di daerah dilaksanakan oleh PTF di Daerah yang dibentuk melalui Keputusan Menhankam Nomor : Kep/012/VIII/1988 tanggal 31 Agustus 1988 tentang Penyelenggara Tugas dan Fungsi Dephan di Daerah, dan Surat Keputusan Menhankam Nomor : Skep/1357/VIII/1988 tentang Pokok-Pokok Mekanisme Pelaksanaan Program dan Anggaran dalam rangka PTF Dephan di Daerah.
Tugas Dephan selaku pengemban fungsi pemerintahan di bidang pertahanan, termasuk didalamnya adalah mengelola sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan. Struktur organisasi Dephan saat ini belum menjangkau untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya nasional dan penyiapan ketiga komponen pertahanan secara optimal diseluruh tanah air. Dengan demikian, Dephan memerlukan kepanjangan tangan untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya nasional tersebut.
Berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor : Kep/012/VIII/1988 Kodam ditunjuk sebagai PTF Dephan di daerah. Dengan adanya beberapa undang-undang baru di era reformasi, pelaksanaan tugas Kodam sebagai PTF Dephan menjadi rancu dengan tugas TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang tidak lagi menyentuh fungsi pemerintah. Kerancuan ini disebabkan belum tegasnya dan belum dipahaminya bahwa pertahanan negara adalah fungsi pemerintah. Artinya dengan wacana yang berkembang saat ini belum dipahami benar bahwa peran TNI dalam pertahanan adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Dari kaca mata ini maka penunjukan Kodam sebagai PTF Dephan di daerah dapat dipandang sebagai keputusan politik pemerintah kepada TNI untuk melaksanakan tugas sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2 huruf ‘b’ butir 8 yang berbunyi: “memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta”.
D. Kendala Pengelolaan Potensi Pertahanan
Dalam prakteknya, upaya penyelenggaraan potensi pertahanan yang dilakukan oleh TNI, khususnya TNI AD, termasuk Korem 032/Wirabraja mengalami beberapa kendala, antara lain :
a. Kendala payung hukum. Artinya, pengelolaan potensi pertahanan menghadapi ketidakjelasan payung hukum. Ketidakjelasan payung hukum dimaksud adalah belum dijabarkannya UU Pertahanan Negara dan UU TNI yang mengatur mengenai pengelolaan potensi pertahanan. Untuk melaksanakan pengelolaan potensi pertahanan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI mengamanatkan agar merumuskan payung hukum turunan, berupa UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, serta UU Pendidikan Kewarganegaraan. Padahal, UU tersebut merupakan ”roh” dari sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Sampai saat ini, UU tersebut masih dalam proses penggodokan antara Pemerintah dan DPR sehingga belum dapat disahkan menjadi UU. Padahal, payung hukum tersebut sangat diperlukan bagi Kodam dan Korem di seluruh Indonesia untuk melaksanakan pengelolaan potensi pertahanan. Lamanya proses pengesahan UU tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan potensi pertahanan belum menjadi skala prioritas bagi semua pihak, khususnya DPR (Komisi I DPR) sebagai lembaga legislasi nasional.
b. Kendala anggaran. Artinya, pengelolaan potensi pertahanan menghadapi kendala alokasi anggaran yang serba terbatas, minim dan kurang mencukupi. Alokasi anggaran TNI dalam APBN yang masih relatif kecil belum mampu secara optimal membiayai pengelolaan potensi pertahanan. Sementara itu, pemerintah daerah di era otonomi daerah saat ini kurang peduli dan kurang perhatian terhadap masalah pengelolaan potensi pertahanan. Pemerintah Daerah menganggap bahwa masalah pengelolaan potensi pertahanan merupakan masalah pertahanan negara yang dalam UU Otonomi Daerah (UU No 32/2004) merupakan tugas Pemerintah Pusat, sehingga tidak perlu ada alokasi anggaran dalam APBD setiap tahunnya bagi pengelolaan potensi pertahanan di daerah. Padahal, sangat jelas ditegaskan dalam UU TNI, bahwa dalam konteks pengelolaan potensi pertahanan, TNI hanya membantu pemerintah saja, sehingga pemerintah (pusat dan daerah) harus memahami dan membiayai program tersebut secara rutin setiap tahunnya dalam APBD.
c. Kendala sarana prasarana. Artinya, dalam menyelenggarakan pemberdayaan wilayah pertahanan, TNI mengalami hambatan terbatasnya sarana prasarana yang dimiliki. Sarana transportasi, sarana informasi, sarana komunikasi, dan sarana lainnya yang dimiliki oleh TNI sangat terbatas sehingga kurang mendukung pengelolaan potensi pertahanan. TNI memerlukan sarana prasarana yang memadai dalam menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran, melatih rakyat dalam upaya bela negara, membentuk satuan-satuan komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara.
d. Kendala mispersepsi masyarakat. Artinya, di era reformasi saat ini, masih ada yang mempersepsikan secara keliru dan berpandangan negatif terhadap kegiatan pengelolaan potensi pertahanan yang dilakukan oleh TNI. Sebagian kecil kelompok menyatakan bahwa pengelolaan potensi pertahanan merupakan wajah lain dari ”Binter” yang dijadikan sebagai sarana agar supaya TNI masuk kembali dalam politik. Pengelolaan potensi pertahanan yang tercermin dalam pemberdayaan wilayah pertahanan yang didalamnya terdapat latihan dasar kemiliteran dinilai secara negatif sebagai ”militerisasi” masyarakat. Upaya memberdayakan rakyat dalam komponen cadangan dan komponen pendukung diartikan sebagai mobilisasi oleh sebagian pihak. Persepsi keliru dan pandangan negatif ini cenderung menjadi kendala bagi TNI dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Pertahanan Negara dan UU TNI.
e. Kendala Mispersepsi Pemerintah Daerah. Artinya, di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, berbagai kebijakan pemerintah daerah, baik Propinsi, Kabupaten / Kota, khususnya kebijakan penyusunan RTRW seringkali tidak pernah melibatkan satuan TNI di daerah, baik Kodam, Korem maupun Kodim. Masih terdapat mispersepsi di kalangan pemerintah daerah dimana penyusunan RTRW dianggap tidak ada kaitannya dengan TNI. RTRW selalu dinilai dari aspek pembangunan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pertahanan. Padahal, satuan TNI di daerah juga selalu menyusun RUTR Pertahanan yang sebenarnya perlu diselaraskan dengan RTRW Pemda.
E. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Potensi Pertahanan
Dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan, diperlukan kebijakan dan strategi sehingga akan mampu menggali segala potensi sumber daya nasional yang ada di setiap daerah / wilayah sehingga dapat ditransformasikan sebagai sumber dan potensi pertahanan. Oleh karena itu, berikut ini akan diuraikan kebijakan dan strategi pengelolaan potensi pertahanan yang sangat penting sebagai pedoman bagi Korem 032/Wirabraja dalam mengelola potensi pertahanan.
1. Kebijakan Payung Hukum
“Melengkapi payung hukum (berupa UU dan Peraturan Pemerintah) yang mengatur secara tegas dan detail tentang teknis, prosedur dan mekanisme peran TNI dalam membantu pemerintah menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan”.
Strategi yang dirumuskan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Mempercepat pengesahan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara menjadi UU melalui proses legislasi untuk membentuk kekuatan nyata yang dapat demobilisasi menghadapi ancaman militer.
b. Mempercepat pengesahan RUU Komponen Pendukung Pertahanan Negara menjadi UU untuk memberikan koridor, rambu-rambu serta peluang bagi tiap-tiap elemen sumber daya nasional atas kontribusinya terhadap kepentingan pertahanan.
c. Mempercepat pengesahan RUU Latihan Dasar Kemiliteran menjadi UU terhadap semua warga negara atau terbatas pada warga negara yang memerlukan persyaratan tertentu untuk menjadi anggota komponen cadangan.
d. Mempercepat pengesahan RUU Bela Negara menjadi UU, dimana dalam penyusunannya melibatkan instansi TNI, Dephan dan instansi terkait.
e. Merevisi UU Mobilisasi dan Demobilisasi yang disesuaikan dengan UU Haneg dan UU TNI.
f. Merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) yang mengatur klausul tentang bidang pertahanan dan keamanan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pasal tersebut perlu diberi penjelasan lebih detail karena realitas saat ini menunjukkan bahwa sebagian Pemerintah Daerah cenderung kurang peduli dengan masalah pertahanan dan keamanan karena dianggap sebagai urusan Pusat (TNI). Dengan adanya revisi, pengelolaan potensi pertahanan sudah selayaknya menjadi tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, sehingga perlu ada alokasi APBD untuk pengelolaan potensi pertahanan.
g. Menyusun PP, Perpres, dan Permen, sebagai penjabaran dari UU Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara, yang mengatur pola pembinaan dan prosedur pemberdayaan unsur-unsur dalam komponen cadangan dan pendukung yang berkekuatan hukum dan kekuatan moral yang mengikat semua departemen/instansi terkait.
h. Menyusun Juklak/juknis/jukmin pembinaan Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara dalam membantu pemerintah/Dephan sesuai dengan pasal 7 (2b) UU TNI sebagai pedoman dan timbul keseragaman dan keselarasan dalam pelaksanaan di lapangan.
i. Menyusun dokumen Postur Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara, baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
j. Merumuskan model pemberdayaan wilayah pertahanan yang berlaku nasional, mengakomodasi isu-isu kritis di masing-masing wilayah, melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan dapat digladikan atau dilatihkan pada masyarakat, dalam rangka mencapai sistem pertahanan semesta.
2. Kebijakan Anggaran
“Memberikan pemahaman dan penyadaran kepada pemerintah dan Pemerintah Daerah bahwa masalah pengelolaan potensi pertahanan dan pemberdayaan wilayah pertahanan negara merupakan tanggungjawab bersama sehingga harus ada alokasi anggaran dalam APBD setiap tahunnya untuk membiayai program pengelolaan potensi pertahanan”.
Strategi yang ditempuh untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Mengalokasikan anggaran rutin dalam APBN dan APBD bagi TNI untuk pembinaan sumber daya pertahanan negara.
b. Mengalokasikan anggaran operasional dalam APBN dan APBD bagi TNI untuk pembinaan sumber daya pertahanan negara.
c. Mengalokasikan anggaran pembinaan dalam APBN dan APBD bagi TNI untuk membina sumber daya pertahanan negara.
3. Kebijakan Sarana Prasarana
Memenuhi sarana prasarana yang ada di lingkungan TNI, khususnya Kodam-Kodam dan Korem-Korem di daerah yang mengemban fungsi sebagai PTF Dephan, sehingga dapat menunjang pelaksanaan tugas dalam menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran, pendidikan bela negara, dan membentuk satuan-satuan komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara.
Strategi yang dijalankan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Memperbarui berbagai materiil yang dimiliki oleh satuan TNI AD, khususnya yang ada di Kodam, Korem, Kodim, dan Koramil sebagai sarana untuk melakukan pengelolaan potensi pertahanan.
b. Membangun berbagai sarana gedung, markas, dan pusat-pusat latihan dasar kemiliteran sehingga menunjang pengelolaan potensi pertahanan.
c. Memodernisasi sarana transportasi, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana akomodasi, dll sehingga dapat mendukung pengelolaan potensi pertahanan.
4. Kebijakan Sinergitas Masyarakat
“Melakukan sosialisasi secara rutin kepada seluruh komponen masyarakat tentang program pengelolaan potensi pertahanan yang merupakan amanat UU Pertahanan Negara dan UU TNI dan memberikan pemahaman bahwa pengelolaan potensi pertahanan pertahanan bukan sebagai sarana bagi TNI masuk dalam politik, melainkan sebagai upaya mendukung sistem pertahanan semesta.
Strategi yang ditetapkan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Menyelenggarakan dialog / diskusi dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, dll mengenai pengelolaan potensi pertahanan sehingga terwujud persepsi yang sama.
b. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat di berbagai lapisan, termasuk di kalangan masyarakat kampus dan mahasiswa tentang pengelolaan potensi pertahanan sehingga terrcapai kesamaan pandangan.
c. Menggelar seminar / workshop dengan unsur LSM, Ormas, dan tokoh intelektual tentang bagaimana mengelola potensi pertahanan di wilayahnya masing-masing sehingga tercapai kesadaran tentang pentingnya mengelola potensi pertahanan.
d. Melakukan sosialisasi melalui media cetak dan media elektronik kepada masyarakat agar supaya mereka menyadari dan memahami bahwa pengelolaan potensi pertahanan bukanlah program TNI namun merupaakan program pemerintah sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan tulus iklhas.
5. Kebijakan Sinergitas Pemerintah Daerah
“Melakukan sinkronisasi dalam penyusunan RTRW Pembangunan Pemda dengan RUTR Pertahanan TNI di masing-masing daerah sehingga akan akan tercapai proses pembangunan wilayah yang berbasis pada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach).
Strategi yang dipergunakan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah, khususnya Bapeda, dalam menyusun RTRW harus memperhatikan RUTR Pertahanan yang dibuat oleh TNI di masing-masing wilayah.
b. Memberikan pemahaman kepada DPRD, khususnya panitia khusus yang membahas Perda RTRW, untuk mengajak diskusi dan dialog dengan satuan TNI di wilayahnya masing-masing ketika membahas penggodokan Perda RTRW.
c. Mengusulkan kepada Pemerintah Daerah, khususnya Gubernur, Bupati dan Walikota, agar supaya ada perwakilan dari unsure TNI dalam membahas RTRW sehingga dapat disinkronkan dengan RUTR TNI.
F. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik benang merah kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengelolaan potensi pertahanan merupakan program dan kegiatan yang sangat penting dilakukan untuk mendukung sistem pertahanan semesta. Sistem pertahanan semesta yang bertumpu pada kekuatan kemanunggalan TNI-Rakyat dapat berhasil digelar apabila terdapat pengelolaan potensi pertahanan dan pemberdayaan wilayah pertahanan secara dini oleh Pemerintah. Dalam konteks UU TNI, TNI bertugas membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan dan pemberdayaan wilayah pertahanan.
2. Dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan saat ini menunjukkan bahwa banyak sekali kendala yang dihadapi oleh TNI, seperti kendala payung hukum / piranti lunak, anggaran, sarana prasarana, mispersepsi masyarakat dan mispersepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya pertahanan.
3. Kebijakan dan strategi yang harus ditetapkan untuk mengelola potensi pertahanan dalam rangka mendukung sistem pertahanan semesta dilakukan dengan cara melengkapi payung hukum, mengalokasikan anggaran, memenuhi sarana prasarana, memberikan pemahaman terhadap masyarakat terhadap pengelolaan potensi pertahanan, dan mensinkronkan RTRW Pemda dan RUTR TNI.
Melihat kesimpulan di atas, maka dapat diformulasikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Kepada Pemerintah, diharapkan segera mendesak kepada DPR untuk menyelesaikaan dan merampungkan aturan UU yang mengatur tentang pengelolaan potensi pertahanan, seperti UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, dll.
2. Kepada DPR, khususnya kepada Komisi I DPR untuk segera menyetujui dan mengesahkan aturan UU yang mengatur tentang pengelolaan potensi pertahanan, seperti UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, dll.
3. Kepada Pemerintah Daerah, diharapkan setiap tahunnya mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pembiayaan pengelolaan potensi pertahanan yang dilakukan oleh satuan TNI di daerahnya masing-masing.
4. Kepada DPRD, agar supaya bersama-sama dengan Pemda membuat Perda tentang pengelolaan potensi pertahanan di wilayahnya masing-masing sehingga menjadi payung hukum yang kuat, mengikat, dan sah.
5. Kepada Masyarakat, agar supaya memahami dan menyadari bahwa pengelolaan potensi pertahanan merupakan tugas pemerintah (baik pusat dan daerah) dimana TNI hanya membantu pemerintah, sehingga tidak perlu dikhawatirkan apalagi dicurigai untuk melakukan militerisasi masyarakat.
Catatan Kaki
Lihat naskah UUD 1945, khususnya pada bagian pembukaan/preambule, dan pasal 30 ayat (1) dan (2).
Lihat UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, khususnya pada Bab I, pasal 1, ayat (2).
Lihat UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, khususnya pasal 7 ayat (1) dan (2).
Lihat daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009 yang dikeluarkan oleh DPR RI, dimana UU dimaksud masih antri untuk dibahas sehingga bisa dipastikan masih akan berlangsung lama proses pengesahannya apalagi saat ini sedang terjadi proses pergantian anggota DPR yang baru. http://dpr-mpr.go.id/prolegnas/uu/html.
DAFTAR PUSTAKA
1. UUD 1945
2. UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
3. UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI
4. Buku Putih Pertahanan RI, Departemen Pertahanan RI, Jakarta, 2003
5. Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Dephan RI, Kebijakan Bidang Potensi Pertahanan Tahun 2007, Makalah yang disampikan dalam Rapim Dephan RI Tahun 2007.
6. Jon Mackie, The Making Defence Strategy, London, Free Press, 2005
7. Antony Sallart, Weapon Don’t Make War, Boston, Aufresgh Press, 2007.
Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

MERUMUSKAN KEMBALI HAKEKAT ANCAMAN NASIONAL

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si
A. Pengantar
Pada era Perang Dingin, hakekat ancaman, baik ancaman nasional maupun internasional, lebih didasarkan pada ancaman yang bersifat militer dan berasal dari eksternal. Agresi militer antara satu negara ke negara lain yang didorong oleh perluasan ideologi sangat mewarnai politik global saat itu. Faktor ideologi dan penekanan pada konsep ”national security” sangat menentukan bagi para pengambil keputusan, baik pada level nasional maupun global, dalam merumuskan hakekat ancaman.
Bagi Blok Barat, hakekat ancaman adalah negara-negara yang berideologikan sosialis-komunis dan yang menginduk pada Uni Soviet dalam koalisi Blok Timur. Bagi Blok Timur, hakekat ancaman adalah negara-negara yang berideologikan liberalis-kapitalis dan yang mengekor pada Amerika Serikat dengan bendera Blok Barat. Penentuan kawan atau lawan dalam percaturan politik global lebih didasarkan pada ideologi apakah komunis atau liberalis. Isu global yang muncul saat itu adalah isu keamanan tradisional/konvensional berupa agresi militer yang dilakukan oleh aktor negara (state actor).
Namun demikian, berakhirnya Perang Dingin telah membawa konsekuensi pada perubahan hakekat ancaman atas keamanan internasional. Berbeda dengan periode Perang Dingin, dalam periode pasca Perang Dingin, ancaman keamanan internasional bersifat masalah-masalah non-militer dan bersumber dari masalah lokal dan global. Dalam dasawarsa kedua periode pasca Perang Dingin ini, konflik skala rendah, terorisme internasional, kejahatan transnasional, terganggunya keamanan ekonomi, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, degradasi lingkungan, dan kelangkaan sumber daya alam merupakan isu-isu yang akan berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional dan internasional. Isu global yang muncul saat ini isu keamanan non tradisional/non konvensional yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara (non state actors).
Berdasarkan alur cerita di atas, tulisan ini sebenarnya ingin menjawab beberapa pertanyaan berikut : Apa yang dimaksud dengan Ancaman? Kerangka Konseptual-Teoritis apa yang dapat dipakai untuk memahami transformasi hakekat ancaman nasional, khususnya pasca Perang Dingin? Apa hakekat ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas bagi Pemerintah Indonesia saat ini? dan solusi apa yang dapat dilakukan untuk menangkal hakekat ancaman tersebut?. Semua pertanyaan di atas akan dicoba dijawab dalam uraian berikut ini.
B. Tipologi Ancaman
Secara konvensional, fungsi utama militer adalah memelihara pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan doktrin keamanan nasional (national security) sangat menentukan posisi militer dan juga hubungan sipil-militer. Pijakan utama formulasi doktrin pertahanan dan keamanan sebagai perangkat lunak adalah ”ancaman”, yang secara umum bisa dirumuskan menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan sumber ancaman. Dua kategori ancaman ini melahirkan 4 tipologi ancaman seperti tergambar dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel 1
Tipologi Ancaman
Tipologi Ancaman Militer Non-Militer
Eksternal Tipe 1 Tipe 3
Internal Tipe 2 Tipe 4
Sumber : Diolah kembali dari Alfred Stephan, The Military in Politics : Changing Patterns in Brazil, (Princeton : Princeton University Press, 1971) dan Barry Possen, The Source of Military Doctrine, (Ithaca : Cornell University Press, 1994).
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dikatakan bahwa sifat ancaman bisa dirumuskan menjadi ancaman militer dan non militer, sedangkan sumber ancaman dibagi menjadi ancaman internal dan eksternal. Tipe I adalah ancaman militer-eksternal yang mencakup agresi, invasi dan infiltrasi kekuatan militer bersenjata dari luar wilayah/teritorial suatu negara. Tipe 2 adalah militer-internal dalam bentuk pemberontakan separatis bersenjata atau gerakan disintegrasi bangsa yang menggunakan kekuatan senjata secara terorganisir dan terlatih (well armed) . Tipe 3 adalah ancaman non-militer-eksternal berupa Transnational Organized Crime (TOC) yang mencakup emigran gelap, drugs traficking, terorisme, aktivitas kriminal bajak laut, illegal fishing, human traficking, dan perusakan lingkungan. Tipe 4 adalah nonmiliter-internal seperti bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil, pelanggaran HAM, deskriminasi gender, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat sebagai individu atau warga negara.
Tipologi di atas secara normatif menuntut dengan tegas perbedaan pertahanan dan keamanan, dan sekaligus akan sangat mempengaruhi dimana peran militer. Di Indonesia, khususnya setelah reformasi, secara konvensional, ancaman pertahanan adalah tipe 1 dan tipe 2, yang kemudian menjadi wilayah yang dibebankan kepada militer (TNI). Sedangkan ancaman keamanan berkaitan dengan tipe 3 dan tipe 4 yang dibebankan kepada polisi dan elemen-elemen sipil lainnya.
C. Dari ”National Security” Menjadi ”Human Security”
Jika pada masa Perang Dingin, persepsi ancaman keamanan nasional setiap negara diformulasikan secara parsial hanya sebagai ancaman militer berupa agresi teritorial yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dalam konteks perang ideologi antara blok Barat dan blok Timur sehingga mengancam keamanan nasional, maka pada masa Pasca Perang Dingin, ancaman militer mulai mengendur digantikan oleh ancaman non militer berupa kejahatan Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan degradasi lingkungan yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara sehingga mengancam keamanan manusia.
Perubahan hakekat ancaman nasional setiap negara pasca Perang Dingin ini telah melahirkan sebuah konsep baru keamanan dalam literatur disiplin ilmu hubungan internasional, yakni konsep Human Security (keamanan manusia). Konsep human security lahir dan menguat pada masa pasca Perang Dingin sebagai pengganti konsep national security (keamanan nasional) yang eksis pada masa Perang Dingin. Konsep human security telah menjadi agenda baru keamanan internasional pasca Perang Dingin, yang kini tidak lagi berfokus pada isu-isu keamanan tradisional-konvensional berupa ancaman militer dari sebuah negara, tetapi pada isu-isu keamanan non tradisional-non konvensional yang datang dari para pelaku non negara. Tabel 2 berikut ini akan menguraikan secara lebih mendalam perbedaan antara paradigma National Security dan Human Security.
Tabel 2
Perbedaan Paradigma National Security
dan Human Security
Unsur Perbedaan National Security Human Security
Eksistensi Masa Perang Dingin Pasca Perang Dingin
Unit Analisis State Individu
Target Wilayah, Teritorial Hati, Pikiran, Jiwa
Basic Needs Kebutuhan fisik dasar Kebutuhan psikis dasar
Sifat Fisik, Statis Psikis,Dinamis
Wujud Kongkret, Empiris, Riel Abstrak, Laten, ideal
Jenis Tradisional, Konvensional Non tradisional, Non Kovensional
Dimensi Militer Ekonomi, Sosial, Politik, Komunitas, Personal, Lingkungan
Ancaman Invasi & Agresi Militer yang dilakukan oleh aktor negara Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, Kemiskinan, kelaparan, ketimpangan, degradasi lingkungan yang dilakukan oleh aktor non negara
Solusi Dihadapi dengan Kekuatan Bersenjata Dihadapi dengan membangun capacity building dan demokrasi
Menurut Bary Buzan, konsep-konsep keamanan pada masa Perang Dingin tidak lagi memadai, karena umumnya konsep ini dibangun dalam pengertian yang statis dan militeristik. Oleh karena itu, konsepsi lama mengenai keamanan bisa mengakibatkan kesalahan dalam menilai ancaman dan melahirkan kebijakan yang tidak tepat dalam menghadapinya. Seusai Perang Dingin, konsep keamanan berkembang dan paling tidak memiliki lima dimensi yang saling terkait dan tidak terisolasi satu sama lain, yaitu : militer, politik, ekonomi, societal, dan lingkungan.
Lebih lanjut Buzan mengatakan bahwa dalam mencapai keamanan, negara dan masyarakat tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis dan setara. Kerapkali, kedua belah pihak ini berada dalam posisi yang berlawanan. Kebutuhan untuk menciptakan dan memelihara keamanan negara seringkali mengorbankan hak-hak individu warga negara, sebagaimana umumnya terjadi di negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi Komunis selama periode Perang Dingin. Dengan kata lain, aman bagi negara belum tentu aman bagi warga negara yang berada di dalamnya. Hal ini disebabkan karena seringkali negara, yang mengatasnamakan keamanan nasional, keutuhan teritorial, dan stabilitas politik-keamanan, melakukan tindakan represif terhadap warga negaranya sehingga menciptakan feel of human insecurity.
Walaupun masih terus diperdebatkan hingga kini, konsep human security bisa memberikan bingkai pemahaman terhadap perubahan hakekat ancaman nasional pasca Perang Dingin. Konsep Human Security diperkenalkan secara resmi untuk pertama kalinya oleh UNDP dalam laporan tahunannnya yang berjudul ”Human Development Report 1994”. Laporan tersebut menyatakan bahwa :
”Sudah terlalu lama konsepsi keamanan dibentuk oleh potensi konflik antar negara. Sudah terlalu lama keamanan dikaitkan dengan ancaman terhadap batas wilayah sebuah negara. Sudah terlalu lama bangsa-bangsa mencari senjata untuk melindungi keamanannya”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, UNDP mengajukan sebuah rumusan baru untuk keamanan yang diawali dengan pemahaman bahwa keamanan berarti :
”Keamanan dari ancaman terus-menerus dari rasa lapar, penyakit, kejahatan, dan penindasan… perlindungan terhadap gangguan yang membahayakan atas kehidupan sehari-hari – baik dirumah, tempat kerja, masyarakat atau lingkungan”.
Menurut UNDP, definisi konsep human security mengandung dua aspek penting. Pertama, human security merupakan “keamanan (manusia) dari ancaman-ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit dan represi. Kedua. Human security juga mengandung makna adanya ”perlindungan atas pola-pola kehidupan harian seseorang –baik di dalam rumah, pekerjaan, atau komunitas dari gangguan-gangguan yang datang secara tiba-tiba serta menyakitkan”.
Selanjutnya, UNDP mengidentifikasi tujuh komponen human security, yaitu : economic security, food security, health security, environmental security, personal security, community security dan political security. Konsep dasar human security menekankan pentingnya empat karakter esensial, yakni bahwa konsep human security haruslah : Universal, independen, terjamin melalui pencegahan dini, dan berbasis pada penduduk (people centered).
Hal yang menarik dari konsep yang diajukan oleh UNDP ini adalah karena konsep human security berangkat dari konsep hak asasi manusia yang menjadi landasan pendirian Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dihasilkan dari Konferensi San Francisco pada bulan Juni 1945. ketika itu, dirumuskan bahwa keamanan memiliki dua komponen penting, yakni freedom from fear dan freedom from want. Sejauh ini, konsepsi keamanan banyak didasarkan pada komponen pertama sehingga menghasilkan konsepsi national security dan kurang mengabaikan komponen kedua sehingga menghambat lahirnya konsepsi human security.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradigma human security hadir untuk menegaskan bahwa terciptanya kondisi national security suatu negara belum tentu menjamin perasaan aman bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Suatu negara akan dapat dikatakan memiliki keamanan nasional yang tangguh apabila keamanan individu-manusia yang ada di dalamnya merasa terjaga secara utuh dan komprehensif.
D. Ancaman Keamanan Manusia
Setelah kita mengetahui hakekat ancaman, khususnya perubahan hakekat ancaman nasional pasca Perang Dingin, maka dalam konteks Indonesia, yang perlu diuraikan selanjutnya adalah hakekat ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas bagi Pemerintah Indonesia saat ini, khususnya dalam proses transisi menuju demokrasi yang terus berjalan sekarang ini.
Berdasarkan pada tipologi ancaman sebagaimana telah diuraikan di depan kemudian dikaitkan dengan perubahan hakekat ancaman pasca Perang Dingin, penulis memberanikan diri untuk menyatakan bahwa ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas penanganannya bagi Pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Ancaman Non Militer- Eksternal
Yang dimaksud dengan ancaman non-militer-eksternal adalah berupa Transnational Organized Crime (TOC) yang mencakup emigran gelap, drugs traficking, aksi terorisme, hijacking, illegal fishing, human traficking, illegal logging, dan perusakan lingkungan.
2. Ancaman Non Militer-Internal
Yang dimaksud ancaman nonmiliter-internal adalah berupa bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil/SARA, pelanggaran HAM, deskriminasi gender, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat sebagai individu atau warga negara.
Baik ancaman non militer-ekternal maupun non militer-internal merupakan ancaman yang berfokus bukan pada keamanan manusia, bukan keamanan nasional yang ingin merebut dan menduduki suatu wilayah tertentu dari sebuah negara. Ambil contoh aksi terorisme misalnya, sasarannya adalah manusia dengan medium peledakan bom. Kelompok teroris tidak bertujuan menguasai wilayah tertentu. Hal ini berbeda dengan agresi militer suatu negara yang bertujuan merebut dan menduduki wilayah dari negara yang didudukinya tersebut.
Prioritas penanganan pada ancaman yang bersifat non militer baik internal maupun eksternal ini bukan berarti mengabaikan sama sekali ancaman yang bersifat militer-eksternal dan militer internal. ancaman militer tradisional-konvensional dari luar bukan berarti tidak ada. Ancaman militer dari luar tetap ada. Hal ini diindikasikan dengan era ancaman perang nuklir yang tidak disertai dengan penghapusan senjata nuklir, konflik perbatasan antar negara, dan serangan negara adikuasa terhadap negara kecil atas nama ”humanitarian intervention”.
Namun demikian, ancaman agresi militer asing yang bersifat teritorial sudah sangat minimal dan out of qouestion. Ancaman agresi teritorial kurang diprioritaskan karena menunjuk pada perkembangan berikut ini: (1) tumbuhnya norma universal yang makin kuat melandasi hukum internasional untuk menentang agresi militer yang termanifestasikan dalam Piagam PBB; (2) anggapan umum bahwa kekuatan militer semakin tidak efektif dalam dalam menyejahterakan dan membesarkan negara dan bangsa, dan bahkan malah counter productive; (3) keterkaitan dan ketergantungan antar negara; (4) gelombang demokrasi dan hak asasi manusia diseluruh dunia.
Berkaitan dengan gerakan separatisme bersenjata atau gerakan disintegrasi bangsa, hendaknya kita merubah pola pikir bahwa gerakan separatisme sudah selayaknya dianggap sebagai tantangan, dan bukan ancaman. Alasannya adalah bahwa munculnya separatisme diasumsikan sebagai kegagalan negara dalam membangun sistem ekonomi, sosial dan politik bangsa sehingga menimbulkan fenomena disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia ditantang untuk menyelesaikan gerakan separatisme sebagai akibat dari krisis ekonomi, sosial, dan politik. Penyelesainnya pun tidak bisa hanya dengan menggunakan pendekatan keamanan, melainkan harus mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Memang, mengubah pola pikir semacam ini tidak mudah, khususnya dari kalangan yang masih berpegang teguh pada paradigma lama keamanan nasional yang tradisional.
Dalam pandangan TNI AD, berbagai ancaman nasional, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar, dan baik yang bersifat militer maupun non militer, seperti telah disebutkan di atas, merupakan bagian dari ancaman yang disebut dengan istilah ”Perang Modern”. Istilah ancaman Perang Modern yang diperkenalkan pertama kali oleh Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Ryamizard Rizacudu, ini kemudian disosialisasikan secara getol oleh Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Danseskoad), Mayjen. Syarifudin Tippe, S.IP., M.Si.
E. Apa Solusi Penangkalnya?
Menurut George Mac lean, seorang akademisi dari Manitoba University, Kanada, pada intinya tugas pengelolaan keamanan suatu negara memiliki dua tujuan esensial, yakni : (1) memelihara keutuhan wilayah negara dan intergritas nasional – tujuan keamanan ; dan (2) memastikan tersedianya barang-barang publik yang terdistribusi dengan baik bagi warga negara – tujuan kesejahteraan.
Dari pendapat Mac Lean tersebut kemudian dikaitkan dengan solusi dalam menangkal hakekat ancaman nasional bangsa Indonesia, maka yang perlu ditekankan saat ini adalah prioritas pada pendekatan kesejahteraan mengingat hakekat ancaman yang dihadapi adalah ancaman yang bersifat non tradisional alias berdimensi manusia, dan bukan pada pendekatan keamanan yang memfokuskan ancaman militer tradisional alias berdimensi teritorial.
Langkah-langkah yang harus diambil bangsa Indonesia dalam menangkal ancaman nasional non tradisional yang mengancam eksistensi keamanan manusia adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat State Building, Nation Building dan Character Building
State Building diperlukan untuk menciptakan supra struktur yang kuat sehingga lahir institusi-institusi demokratis yang kuat dalam menangkal setiap hakekat ancaman yang muncul.Nation Building dibutuhkan dalam rangka membangun civil society organization (CSO’s) sehingga dapat dijadikan ujung tombak dalam proses pendidikan multikultural tentang arti penting dari universalitas konsep keamanan manusia. Character Building diarahkan untuk membentuk karakter pribadi manusia Indonesia sehingga mampu djadikan filter dalam membentengi diri dari penetrasi asing yang tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan telah melebar ke non fisik.
2. Program Capacity Building Untuk Demokrasi
Demokrasi yang didalamnya terdapat norma-norma inti seperti kebebasan individu, supremasi hukum, persamaan hak, dan akuntabilitas harus diterapkan ke dalam struktur bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi dapat memperbesar peluang bagi perlindungan serta implementasi kebijakan keamanan yang mengutamakan keamanan manusia. Oleh karena itu, untuk menyebarkan dan menginternaslisasi nilai-nilai demokrasi di masyarakat Indonesia harus disertai dengan proses capacity building yang di dalamnya terdapat penguatan struktur dan institusi yang demokratis. Pada titik ini, kapasitas/kapabilitas pemerintah dalam kaitannya dengan isu keamana manusia menjadi sangat penting. Kemampuan yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk menciptakan keamanan manusia adalah merumuskan local policing, local governance, kerjasama transnasional dan pendekatan legal, konstitusional serta yuridis.
F. Catatan Punutup
Dari serangkaian pembahasan di atas, terdapat beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam memahami hakekat ancaman nasional, khusunya pergeseran dari konsep national security menjadi human security.
Pertama, tipologi ancaman nasional setiap negara sangat bervariasi, mulai dari ancaman militer-ekternal, militer-internal, sampai dengan ancaman non militer-ekternal, non militer-internal. Secara konseptual, keempat tipe ancaman nasional tersebut dapat disebut sebagai ancaman keamanan tradisional dan ancaman keamanan non tradisional.
Kedua, Human Security merupakan sebuah konsep yang dapat dijadikan kerangka analisis untuk memahami perubahan hakekat ancaman nasional yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konsep human security telah menggeser konsep national security yang telah dianut oleh negara-negara di dunia selama masa Perang Dingin.
Ketiga, ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas penanganan bagi bangsa Indonesia adalah ancaman non militer-internal dan non militer-ekternal. Kedua ancaman ini secara langsung dapat membahayakan eksistensi keamanan manusia yang saat ini telah menjadi tren global.
Keempat, solusi untuk menangkal ancaman nasional bangsa Indonesia, khususnya ancaman keamanan manusia adalah dengan : (1) memperkuat state building, nayion building dan character building; (2) program capacity building untuk demokrasi.
Catatan Kaki
Dirangkum dan diolah dari Ari Sujito dan Sutoro Eko (ed.), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, (Yogyakarta : IRE Press, 2002), hlm. 6-7.
Ibid.
Ada lima dimensi konsep keamanan, yakni : (1) the origin of threats; (2) the nature of threats ; (3) changing reponse; (4) changing responsibility of security; (5) core value of security. Dikutip dari Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No. 1, hlm. 71 – 72.
Pemahaman mendalam tentang pergeseran paradigma keamanan pasca Perang Dingin ini dapat dibaca pada Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991), hlm. 19 – 20.
Ibid.
Dikutip dari Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1, hlm. 47.
Ibid.
Ibid.
Landry Haryo Subianto, “Konsep Human Security : Tinjauan dan Prospek”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1, hlm. 106
Op. Cit.
Tentang terorisme dan kaitannya dengan konsep human security, baca Poltak Partogi Nainggolan, “Terorisme dan Perspektif Keamanan Pasca Perang Dingin, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1, hlm. 69 – 89.
Majalah Tempo, 27 September 2004, hlm. 57.
Ibid.
Menurut Komandan Seskoad ini, upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi ancaman Perang Modern, yang fokus serangannya pada eksistensi individu manusia dari rasa aman adalah dengan membentengi hati dan pikiran manusia melalui nilai-nilai spiritualitas. Nilai-nilai spiritualitas berfungsi sebagai filter yang akan menyaring dan membentengi diri dari berbagai penetrasi asing yang masuk melalui medium-medium IPOLEKSOSBUDHANKAM. Lihat Syarifudin Tippe, “Perang Modern”, makalah yang disampaikan dalam seminar ASPAC on ASET bertema Meningkatkan Kompetensi SDM Sebagai Pendidik, Pelatih, Peneliti & Pengembangan Yang Dilandasi Oleh Art, Science, Engineering, and Technology, yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung pada hari Kamis, 7 Oktober 2004 di Universitas Parahyangan Bandung
George Mac Lean, “The United Nations and the New Security Agenda”, dalamhttp://www.unac.org/canada/security/maclean.html.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred Stephan, The Military in Politics : Changing Patterns in Brazil, (Princeton : Princeton University Press, 1971)
Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No. 1
Ari Sujito dan Sutoro Eko (ed.), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, (Yogyakarta : IRE Press, 2002)
Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991)
Barry Possen, The Source of Military Doctrine, (Ithaca : Cornell University Press, 1994).
George Mac Lean, “The United Nations and the New Security Agenda”, dalamhttp://www.unac.org/canada/security/maclean.html.
Landry Haryo Subianto, “Konsep Human Security : Tinjauan dan Prospek”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1
Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1
Poltak Partogi Nainggolan, “Terorisme dan Perspektif Keamanan Pasca Perang Dingin, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1
Syarifudin Tippe, “Perang Modern”, makalah yang disampaikan dalam seminar ASPAC on ASET bertema Meningkatkan Kompetensi SDM Sebagai Pendidik, Pelatih, Peneliti & Pengembangan Yang Dilandasi Oleh Art, Science, Engineering, and Technology, yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung pada hari Kamis, 7 Oktober 2004 di Universitas Parahyangan Bandung
Tempo, 27 September 2004
Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

SISTEM PERTAHANAN RAKYAT SEMESTA DI DAERAH PERBATASAN

Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si
Abstrak
Tulisan ini mengupas tentang sistem pertahanan negara Indonesia yang mendasarkan pada sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, khususnya jika diaplikasikan di wilayah perbatasan sebagai garis / lini terdepan pertahanan negara, dalam menghadapi setiap ancaman musuh. Dinamika dan spektrum ancaman yang berubah membuat diperlukannya perumusan pertahanan nir militer di daerah perbatasan dimana peran rakyat sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara sangat diperlukan keterlibatannya.
Kata Kunci : Sishankamrata, daerah perbatasan, dan pertahanan nir militer.
Pendahuluan
Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai komponen cadangan dan pendukung, dimana setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
Selaras dengan hal itu, UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Selanjutnya, UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).
Dalam kehidupan bernegara, pertahanan negara merupakan aspek yang sangat hakiki dan vital dalam menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desain pertahanan negara disusun dalam bingkai kepentingan nasional dengan berdasar pada nilai-nilai perjuangan bangsa sebagai titik pijak dalam menyikapi perkembangan lingkungan strategis.
Penerapan sistem pertahanan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah (geografi), kondisi penduduk (demografi), kepentingan nasional serta persepsi ancaman bagi suatu negara. Bagi Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas berupa kepulauan (terdiri dari 17. 504 pulau), dengan jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia, serta berdasarkan pengalaman sejarah mempertahankan kemerdekaan membuktikan bahwa dukungan/keterlibatan seluruh komponen bangsa sangat efektif dalam perang mempertahankan kemerdekaan, sehingga bangsa Indonesia menetapkan Sishankamrata sebagai Sistem Pertahanan Negara.
Oleh karena itu, tulisan ini ingin menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : Apa yang dimaksud dengan sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata)? Bagaimana keterkaitan antara sistem pertahanan rakyat semesta dengan daerah perbatasan? Apa saja permasalahan yang terjadi di daerah perbatasan? Bagaimana dengan daerah perbatasan antara Indonesia (Propinsi Kepulauan Riau) dengan Singapura? Bagaimana implementasi sistem pertahanan rakyat semesta di daerah perbatasan?
Konsepsi Sishanrata
Pertahanan negara Indonesia tidak eksklusif, tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa Indonesia. Atas dasar itu maka Pertahanan negara diformulasikan dalam sistem pertahanan Indonesia yang bersifat semesta yang diejawantahkan ke dalam usaha seluruh bangsa Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam konteks tersebut, hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem pertahanan Indonesia yang bersifat semesta mengalir dari amanat Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30, bahwa usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 3 Tahun 2002, Sistem Pertahanan Semesta dibangun dan dipersiapkan untuk menghadapi setiap bentuk ancaman, baik yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Selanjutnya, pertahanan negara Indonesia yang diselenggarakan dalam suatu Sistem Pertahanan Semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, serta segenap sumber daya nasional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut. Sistem Pertahanan Semesta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan yang kuat dan disegani baik kawan maupun calon lawan. Dipersiapkan secara dini berarti Sistem Pertahanan Semesta dibangun secara terus-menerus sejak masa damai sampai masa perang.
Sistem Pertahanan Semesta memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter yang saling menyokong dalam menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Sistem Pertahanan Semesta dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama, serta segenap sumber daya nasional lainnya sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam menghadapi ancaman nirmiliter, Sistem Pertahanan Semesta menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi, didukung oleh unsur lain dari kekuatan bangsa.
Pada masa damai, Sistem Pertahanan Semesta dibangun untuk menghasilkan daya tangkal yang tangguh dengan menutup setiap ruang kelemahan yang dapat menjadi titik lemah. Pembangunan Sistem Pertahanan Semesta pada masa damai dilaksanakan dalam kerangka pembangunan nasional yang tertuang dalam program pemerintah yang berlaku secara nasional. Pada masa perang atau pada kondisi negara menghadapi ancaman nyata, pemerintah mendayagunakan Sistem Pertahanan Negara sesuai dengan hakikat ancaman atau tantangan yang dihadapi. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter dalam susunan Komponen Utama Pertahanan, yaitu TNI, serta Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional.
Komponen Cadangan dibentuk dari sumber daya nasional yang dipersiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI. Mobilisasi merupakan tindakan politik dari pemerintah melalui pernyataan Presiden untuk mengerahkan dan menggunakan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional sebagai kekuatan pertahanan.
Komponen Pendukung adalah sumber daya nasional selain Komponen Utama dan Komponen Cadangan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Komponen Pendukung dikelompokkan dalam lima suku komponen pendukung, yakni Garda Bangsa, tenaga ahli sesuai dengan profesi dan bidang keahliannya, warga negara lainnya, industri nasional, sarana dan prasarana, serta sumber daya buatan dan sumber daya alam yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan. Garda Bangsa adalah salah satu unsur utama dalam Komponen Pendukung, yang terdiri atas warga negara yang memiliki kecakapan dan keterampilan khusus, jiwa juang, kedisiplinan, serta berada dalam satu garis komando yang sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk membantu tugas-tugas pertahanan pada saat negara membutuhkan Komponen Pendukung. Unsur-unsur Garda Bangsa berasal dari unsur Kepolisian Negara, Satuan Polisi Pamong Praja yang dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda), unsur Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang dikoordinir oleh Pemda, Resimen Mahasiswa yang pembinaannya di bawah perguruan tinggi, Alumni Resimen Mahasiswa, serta organisasi kepemudaan.
Pertahanan militer bertumpu pada TNI sebagai Komponen Utama didukung oleh Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang dipersiapkan dan dikembangkan untuk menghadapi ancaman militer. Tentara Nasional Indonesia mendinamisasi pertahanan militer sebagai lapis utama pertahanan negara untuk melaksanakan operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam melaksanakan OMP, TNI mengembangkan strategi militer sesuai dengan hakikat ancaman yang dihadapi dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia serta sumber daya pertahanan yang tersedia. OMP yang diselenggarakan TNI dikemas dalam keterpaduan tiga matra (Tri Matra Terpadu).
Pertahanan nirmiliter adalah peran serta rakyat dan segenap sumber daya nasional dalam pertahanan negara, baik sebagai Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer maupun sebagai fungsi pertahanan sipil dalam menghadapi ancaman nirmiliter. Fungsi pertahanan nirmiliter yang diwujudkan dalam Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 7 Ayat (2) dalam menghadapi ancaman militer. Sedangkan fungsi pertahanan sipil dalam menghadapi ancaman nirmiliter sebagaimana dimaksud UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pasal 7 ayat (3) terdiri atas fungsi untuk penanganan bencana alam, operasi kemanusiaan, sosial budaya, ekonomi, psikologi pertahanan yang berkaitan dengan kesadaran bela negara, dan pengembangan teknologi. Fungsi-fungsi tersebut merupakan tanggung jawab instansi pemerintah di luar bidang pertahanan sesuai dengan jenis dan sifat ancaman yang dihadapi.
Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) disiapkan secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut, yang selanjutnya akan digunakan secara optimal untuk perang semesta dalam menghadapi ancaman militer asing (luar negeri). Keberhasilan penyiapan Sishanta akan sangat menentukan keberhasilan perang semesta dan akan dapat menimbulkan efek tangkal (Deterrent effect) yang sangat efektif.
Upaya penyiapan Sistem Pertahanan Semesta secara umum telah dilaksanakan, pada tataran strategis telah jelas sesuai UU Pertahanan Negara dan UU tentang TNI, namun pada tataran operasional masih belum dapat terealisasi seperti yang diharapkan (contoh penyiapan komponen cadangan dan pendukung belum jelas). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah belum adanya payung hukum yang mengatur, berupa UU komponen cadangan, UU komponen pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi serta UU Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai jabaran dari UU Pertahanan Negara dan UU TNI.
Sumber : Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan RI, 2007
Korelasi Sishanrata dan Daerah Perbatasan
Perbatasan negara sebagai manifestasi kedaulatan wilayah suatu negara mempunyai peranan penting dan nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, karena kondisi pertahanan dan keamanan baik skala regional maupun nasional diperlukan sebagai prasyarat pembangunan. Keberhasilan pembangunan akan berdampak penting bagi kedaulatan negara, mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, dan saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara. Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, India, PNG, Republik Palau, Australia dan Timor Leste. Dikawasan perbatasan ini tersebar pulau-pulau terluar yang jumlahnya sebanyak 92 (sembilan puluh dua) pulau termasuk 10 pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan negara tetangga.
Paradigma wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar sebagai beranda depan negara belum diwujudkan secara optimal, sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia. Daerah perbatasan masih dianggap sebagai beranda belakang negara sehingga kurang menjadi prioritas dalam pembangunan nasional.
Dalam perspektif pertahanan negara, Buku Putih Pertahanan RI, menyatakan bahwa gelar pasukan TNI untuk mengamankan wilayah NKRI, diprioritaskan pada daerah konflik, daerah terpencil, pulau terluar, dan daerah perbatasan. Dalam sistem pertahanan negara, daerah perbatasan sangat penting untuk diperhatikan karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan negara tetangga sehingga menimbulkan kerawanan terhadap setiap bentuk infilitrasi yang akan membahayakan keamanan nasional.
Oleh karena itu, dalam konteks sishanrata, daerah perbatasan memerlukan berbagai penyiapan secara dini, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, untuk membangun sabuk pengaman perbatasan guna menciptakan daya tangkal dalam rangka kedaulatan NKRI. Sebagai komponen bangsa, rakyat di daerah perbatasan harus dibentuk, dibina, dan dimobilisir sehingga akan terlahir satuan-satuan rakyat yang berfungsi sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
Penerapan sishanrata di daerah perbatasan sangat mendesak dilakukan mengingat daerah perbatasan adalah lini terdepan dalam menghadapi ancaman musuh apabila keadaan perang terjadi. Rakyat di daerah perbatasan perlu diberi pemahaman dan penyadaran tentang pentingnya gelar sishanrata dalam menghadapi setiap ancaman yang kemungkinan akan menyerang. Keberhasilan dan kegagalan penerapan sishanrata di daerah perbatasan sangat ditentukan oleh rakyat sehingga diharapkan rakyat secara sukarela mendukung sishanrata yang diterapkan di daerah perbatasan.
Isu-Isu Strategis Di Daerah Perbatasan
Secara umum, isu-isu strategis yang terjadi di daerah perbatasan, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut sangat bervariasi. Berikut ini akan diuraikan berbagai isu strategis yang terjadi di wilayah perbatasan, antara lain :
1. Permasalahan Pengamanan Terhadap Pulau-Pulau Kecil Terluar
Berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dimana telah ditetapkan 10 pulau kecil terluar yang harus menjadi prioritas pemerintah untuk menanganinya.
2. Permasalahan Pencurian Kayu (Illegal logging)
Kegiatan pencurian kayu di perbatasan sangat marak dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pencurian kayu dilakukan melalui perbatasan darat, khususnya lewat jalan-jalan tikus yang sulit untuk dideteksi oleh aparat keamanan, dan juga melalui perbatasan laut, yakni dengan mengangkut kayu-kayu menggunakan kapal.
3. Permasalahan Pencurian Ikan (Illegal Fishing)
Pencurian ikan di wilayah perbatasan laut / perairan seringkali terjadi karena keterbatasan anggaran dan sarana prasarana aparat keamanan dalam melakukan patroli di wilayah perairan perbatasan.
4. Permasalahan Aksi Kriminalitas
Masyarakat perbatasan sangat rawan terjadi aksi kriminalitas, seperti Narkoba, perjudian, pemalsuan dokumen syarat-syarat Paspor, dan penyelundupan, membawa bahan peledak di kapal, dan perdagangan wanita yang dilakukan di wilayah perbatasan.
5. Permasalahan Patok Batas Perbatasan
Batas wilayah negara Indonesia dengan negara tetangga yang ditandai dengan patok batas dengan ukuran yang beragam telah mengalami kerusakan sehingga memerlukan pembenahan dan perbaikan, bahkan penambahan patok batas. Di samping itu, terdapat pula isu pemindahan patok batas yang menjorok ke wilayah Indonesia sehingga dinilai akan merugikan wilayah kedaulatan Indonesia.
6. Permasalahan Terbatasnya Pospamtas
Kualitas dan Kuantitas Pospamtas di wilayah perbatasan sangat terbatas untuk menjaga kedaulatan negara di sepanjang perbatasan. Kondisi bangunan yang terbuat dari kayu, terbatasnya sarana transportasi modern, terbatasnya sarana komunikasi modern, sangat jauhnya jarak antara Pospamtas, sulitnya koordinasdi antar Pospamtas dan sulitnya akses menuju Pospamtas, merupakan gambaran nyata kondisi Pospamtas di wilayah perbatasan.
7. Permasalahan Klaim Blok Ambalat
Masalah Ambalat antara Indoensia – Malaysia yang sampai saat ini masih belum selesai dan belum ada titik temu kesepakatan kedua belak pihak merupakan permasalahan keamanan nasional. Klaim Malaysia atas blok ambalat merupakan ancaman terhadap keutuhan wilayah NKRI sehingga patut untuk diperjuangkan agar jangan sampai Malaysia secara sepihak dan sewenang-wenang melakukan klaim atas blok ambalat.
8. Permasalahan Belum Adanya UU Batas Wilayah NKRI
Sampai dengan saat ini, Indonesia belum memiliki UU batas wilayah NKRI sehingga menyulitkan bangsa Indonesia dalam melakukan diplomasi terhadap masyarakat internasional berkaitan dengan batas wilayah Indonesia. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap keamanan nasional di wilayah perbatasan sehingga perlu segera mendapatkan prioritas dalam menyusun UU batas wilayah Negara yang secara tegas menunjukkan batas-batas wilayah Indoensia, baik darat, laut maupun udara.
Perbatasan Propinsi Kepri dengan Singapura
Secara khusus, permasalahan perbatasan yang menonjol di Propinsi Kepri yang berbatasan laut dengan Singapura adalah terkait ekspor pasir laut yang dilakukan oleh para pengusaha pasir dari Propinsi Kepri ke negara Singapura. Dalam perspektif lingkungan hidup, penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut di perairan Kepri. Dalam perspektif pertahanan negara, penambangan dan ekspor pasi laut ke negara Singapura telah berdampak pada keutuhan wilayah / teritorial Indonesia.
Mengapa demikian? Karena pasir-pasir laut yang diekspor tersebut digunakan oleh Singapura untuk melakukan reklamasi pantai sehingga menjorok ke wilayah NKRI. Saat ini, daratan Singapura bertambah 12 kilometer (km) ke arah perairan Indonesia. Pada saat yang sama, wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Kondisi yang demikian, jelas harus segera diselesaikan karena mengancam kedaulatan NKRI.
Sampai dengan saat ini, Pemerintah masih mengalami dilema. Di satu sisi, apabila pemerintah menghentikan penambangan pasir laut tersebut, maka para pengusaha penambangan pasir dan masyarakat yang bekerja didalamnya akan melakukan protes karena penambangan pasir merupakan satu-satunya mata pencahariannya. Sementara itu, di sisi lain, apabila pemerintah membiarkan kegiatan penambangan dan ekspor pasir tersebut, maka cepat atau lambat, wilayah teritorial Indonesia akan terancam berkurang.
Celakanya lagi, masih terjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tentang ijin penambangan pasir laut. Dalam konteks otonomi daerah, ijin penambangan pasir laut sebagai jenis galian golongan C, merupakan kewenangan Pemerintah Daerah setempat, sebagai bagian dari PAD, sehingga sulit bagi pemerintah Pusat untuk melakukan intervensi untuk menghentikan atau mencabut ijin tersebut. Sementara pemerintah daerah dengan alasan menggenjot PAD demi kesejahteraan masyarakat mengeluarkan ijin penambangan pasir tanpa mempertimbangkan dampak yang lebih luas.
Melihat kompleksitas permasalahan perbatasan di daerah Propinsi Kepri kaitannya dengan penambangan dan ekspor pasir laut ke Singapura, dibutuhkan sikap arif dan bijaksana dari semua pihak, khususnya kepada Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten / Kota beserta DPRD untuk bersama-sama membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengutamakan kepentingan nasional jangka panjang dan mengesampingkan kepentingan sempit, sesaat dan jangka pendek.
Implementasi Sishanrata Di Daerah Perbatasan
Implementasi sishanrata di daerah perbatasan sangat mendesak dilakukan mengingat rentannya daerah perbatasan terhadap berbagai bentuk infilitrasi, penyusupan, penyelundupan, dan kejahatan trannasional lainnya yang dapat mengancam keamanan nasional. Daerah perbatasan sebagai lini terdepan pertahanan negara harus didesain secara dini untuk memfilter dan menangkal setiap ancaman fisik dan non fisik yang akan masuk.
Dalam dataran kongkret dan operasional, implementasi sishanrata di daerah perbatasan diwujudkan dengan :
1. Melakukan pendataan / pencatatan / inventarisasi terhadap komponen masyarakat di daerah perbatasan yang menaruh minat untuk masuk menjadi komponen cadangan dan komponen pendukung.
2. Melakukan perekrutan/pemilahan/pemilihan terhadap komponen masyarakat di daerah perbatasan yang memiliki kualifikasi dan memenuhi kriteria sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
3. Membekali komponen masyarakat di daerah perbatasan dengan pendidikan kesadaran bela negara dan pelatihan dasar kemiliteran secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
4. Mengorganisasi komponen masyarakat di daerah perbatasan menjadi satuan-satuan cadangan dan pendukung pertahanan negara.
5. Mengerahkan / memobilisasi komponen masyarakat di daerah perbatasan yang tergabung dalam satuan-satuan tersebut untuk memperkuat komponen utama.
6. Menggunakan komponen masyarakat di daerah perbatasan yang tergabung dalam satuan-satuan tersebut untuk kepentingan OMP dan OMSP.
Dengan disiapkannya secara dini komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara di daerah perbatasan dalam kerangka Sishanrata, maka akan tergelar sistem deteksi dini di tengah masyarakat perbatasan sehingga mampu melahirkan mekanisme “quick response” dan “quick action” terhadap permasalahan yang muncul, guna meningkatkan daya tangkal bangsa di daerah perbatasan.
Prasyarat keberhasilan implementasi sishanrata di daerah perbatasan ini adalah pemahaman dan kesadaran seluruh komponen bangsa untuk saling bersinergi menumbuhkan semangat juang, jiwa patriotisme, militansi bangsa, dan rasa nasionalisme yang tinggi sehingga menjadi modal dasar dan landasan utama dalam kerangka mempertahanan kedaulatan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI.
Catatan Penutup
Berdasarkan penggambaran yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik benang merah kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem pertahanan negara Indonesia adalah Sishanrata sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, UU Pertahanan Negara, UU TNI, dan Buku Putih Pertahanan Negara. Sishanrata melibatkan rakyat sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara. Tanggungjawab pertahanan negara dipikul oleh semua komponen bangsa, dan bukan hanya oleh TNI semata. Setiap warga negara wajib untuk melakukan bela negara dalam rangka sistem pertahanan rakyat semesta.
2. Sishanrata sangat relevan dan terkait dengan daerah perbatasan. Sebagai garis terdepan pertahanan negara, daerah perbatasan memiliki posisi sangat strategis dalam konteks penyelenggaraan pertahanan negara. Sishanrata menempatkan daerah perbatasan sebagai sabuk pengaman (safety belt) yang dapat menciptakan daya tangkal terhadap segala bentuk ancaman yang masuk ke wilayah NKRI.
3. Isu-isu Strategis di daerah perbatasan sangat komplek dan bervariasi, mulai permasalahan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Berkaitan dengan permasalahan perbatasan Propinsi Kepri, kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut merupakan persoalan yang harus segera ditangani sehingga tidak mengancam keutuhan wilayah NKRI.
4. Implementasi Sishanrata di daerah perbatasan sangat penting dilakukan dengan langkah kongkret membentuk satuan-satuan komponen cadangan dan komponen pendukung
Berlandaskan kesimpulan tersebut, maka dapat dirumuskan saran sebagai berikut :
1. Perlu dibuat model sishanrata yang berlaku nasional, mengakomodasi isu-isu kritis di masing-masing wilayah, melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan dapat digladikan atau dilatihkan pada masyarakat.
2. Perlu percepatan pengesahan UU Keamanan Nasional yang akan menjadi payung hukum induk dalam menyelenggarakan keamanan nasional sehingga menyatukan semua lembaga, instansi, dan organisasi, untuk saling bersinergi mewujudkan Sishanrata.
3. Perlu ditingkatkan saluran lobi, komunikasi dan koordinasi intensif antara pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Komponen Cadangan, RUU Komponen Pendukung, RUU Mobilisasi dan Demobilisasi, RUU Latsarmil, RUU Bela Negara, dan RUU Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga tercapai kesamaan pandangan dan kesatuan persepsi tentang Sishanrata.
4. Perlu kerjasama, koordinasi dan komunikasi secara intensif lintas departemen, lintas sektor, lintas fungsi, dan lintas lembaga, baik pada Deparatemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Dalam negeri, Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Kehutanan, Bappenas, dll dalam menangani permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan.
5. Perlu kerjasama, koordinasi dan komunikasi secara intensif antar Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi Kepulauan Riau dalam membuat / menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan penanganan kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Daftar Pustaka
UUD 1945
UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI
Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2007
Dephan RI, Penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara Memupuk Jiwa Patriotisme, tanggal 29 Januari 2007.
Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Dephan RI, Kebijakan Bidang Potensi Pertahanan Tahun 2007, Makalah yang disampikan dalam Rapim Dephan RI Tahun 2007.
Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No.1.
Anthony Giddens, Jalan Ketiga, Terjemahan, Jakarta, Gramedia, 1999
Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991)
Benedict O. Anderson, Nasionalisme di Tengah Arus Globalisasi, Jakarta, Bentang Budaya, 2004
H.S Watson, Nation and States. An Enquiry into the Origin of Nation and the Politics of Nationalism. Boulder Colorado, Westview Press, 1997
Hans Dieter Mackie, National Security In US Post September Bomb, New Jersey, Sage Publication Press, 2004.
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1995
Kenichi Ohmae, The Borderless World. Power and Strategy in the Global Market Place, Great Britain, Harver Collins Publisher, 1990
Mabes TNI AD, Tinjauan Terhadap Isu-Isu Tentang Sishanneg, Keberadaan Satuan Komando Kewilayahan TNI AD Dan Binter, Jakarta, November 2004.
Mabes TNI, Postur TNI 2004 – 2014, Jakarta, 2004.
Perpustakaan Nasional, Negara dan Bangsa : Bagian Indonesia, (Jakarta : Bagian Publikasi Perpustakaan Nasional, 2001)
Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1
Rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas RI), April 2005
Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si . Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung
Categories: Kajian TNI | Leave a comment

TNI AD SEBAGAI PELAYAN PUBLIK SEKTOR PERTAHANAN DARAT

Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si
Pengantar
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa bahwa tujuan nasional Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pertahanan negara merupakan salah satu bentuk upaya bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional. Hakikat pertahanan negara adalah keikutsertaan tiap-tiap warga negara sebagai perwujudan hak dan kewajibannya dalam usaha pertahanan negara.
Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan Bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
Tulisan ini akan menyoroti tentang institusi militer sebagai penyedia jasa pelayanan publik di sektor pertahanan. Agar sistematis dan runtut, tulisan ini dibagi dalam tiga bagian penting. Bagian pertama akan membahas tentang Departemen Pertahanan sebagai institusi representasi pemerintah yang berperan sebagai pembuat kebijakan publik dibidang pertahanan negara. Bagian kedua memaparkan tentang TNI sebagai institusi yang berperan sebagai pelaksana kebijakan publik sektor pertahanan negara. Dan bagian ketiga menggambarkan mengenai TNI AD yang berperan sebagai pelaksana kebijakan publik sektor pertahanan darat.
Dephan Pembuat Kebijakan Publik
Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya.
Berdasarkan UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, khususnya pasal 16 menyatakan bahwa Deparetemen Pertahanan membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara, menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden, menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya, merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya, menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya, dan bekerjasama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan.
Dari uraian tugas yang dimuat dalam UU tersebut dapat dikatakan bahwa Departemen Pertahanan merupakan institusi pembuat kebijakan publik di sektor pertahanan, baik di darat, laut maupun udara. Departemen Pertahanan merupakan aktor pembuat kebijakan yang bersifat strategis dan manajerial yang berskala nasional.
Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila dalam membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan pertahanan negara, Deparetemen Pertahanan melibatkan seluruh stake holders sehingga kebijakan yang dibuat akan mendapatkan masukan sebanyak mungkin dari berbagai pihak. Sudah menjadi kesadaran semua pihak, bahwa masalah pertahanan negara merupakan masalah seluruh bangsa dan negara Indonesia, dan bukan hanya masalah yang menjadi tanggungjawab Departemen Pertahanan dan TNI semata.
Berbagai produk perundang-undangan yang dirumuskan di Departemen Pertahanan sebelum diajukan ke DPR seyogyanya dimintakan pendapat kepada masyarakat dengan membuka ruang publik yang seluas-luasnya sehingga tercipta proses pembuatan kebijakan publik yang transparan dan demokratis. Kebijakan umum yang bersifat strategis dan managerial yang berkaitan dengan hakekat ancaman dan upaya yang harus dilakukan untuk menangkalnya harus menjadi prioritas Departemen Pertahanan dalam membuat produk hukum pertahanan negara.
Berkaitan dengan signifikansi strategis Departemen Pertahanan, maka diperlukan kompetensi seorang Menteri Pertahanan yang mengetahui dan menguasai ilmu pengetahuan tentang pertahanan negara, strategi perang dan ilmu kemiliteran. Meskipun jabatan Menteri Pertahanan adalah jabatan politis dan bukan jabatan karier, namun harus diusahakan penunjukkan Menteri Pertahanan oleh Presiden mempertimbangkan kompetensi yang dimiliki calon Menhan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, sudah menjadi kebiasaan bahwa Menteri Pertahanan biasanya dijabat oleh seorang yang berlatar belakang sipil, sedangkan Menteri Dalam Negeri adalah Purnawirawan TNI. Hal ini bukan berarti kebiasaan yang salah, namun alangkah lebih baiknya jika dibalik. Menteri Pertahanan dijabat oleh purnawirawan TNI dan Menteri Dalam Negeri dipegang oleh kalangan Sipil.
TNI Melayani Publik Sektor Pertahanan
Dalam UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, khususnya pada pasal 10, dinyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentara Nasional Indonesia, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk : mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; melaksanakan Operasi Militer selain Perang; dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Dikatakan dalam UU No 34 tahun 2004, bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; penindak terhadap setiap bentuk ancaman; pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas pokok TNI dilakukan dengan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Yang dimaksud dengan tugas OMSP adalah sebagai berikut :
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata;
2. mengatasi pemberontakan bersenjata;
3. mengatasi aksi terorisme;
4. mengamankan wilayah perbatasan;
5. mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis;
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
7. mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan;
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Dalam menghadapi ancaman dari luar berupa kekuatan militer negara lain, TNI melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP). Meskipun perkiraan ancaman tradisional berupa agresi atau invasi negara lain sangat kecil kemungkinannya, namun tidak membuat kesiapsiagaan pertahanan negara menjadi kendor. Dalam konteks ini upaya penyelenggaraan pertahanan negara lebih diarahkan pada upaya preventif guna mencegah dan mengatasi dampak keamanan yang lebih besar melalui kehadiran dan kesiapan kekuatan TNI.
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia diperkirakan lebih besar kemungkinan berasal dari ancaman non-tradisional, baik yang bersifat lintas negara maupun yang timbul di dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan strategis pertahanan Indonesia yang diarahkan untuk menghadapi dan mengatasi ancaman non-tradisional merupakan prioritas dan sangat mendesak. Dalam pelaksanaannya mengedepankan TNI dengan menggunakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). TNI melaksanakan OMSP bersama-sama dengan segenap komponen bangsa lain dalam suatu keterpaduan usaha sesuai tingkat eskalasi ancaman yang dihadapi. Terhadap setiap ancaman dan gangguan keamanan, TNI akan senantiasa mengedepankan upaya pencegahan sebagai cara terbaik guna menghindari korban dan dampak lain yang lebih besar.
Penggunaan kekuatan TNI dalam tugas OMSP diarahkan untuk kepentingan pertahanan yang bersifat mendesak. Tugas-tugas mendesak tersebut antara lain melawan terorisme, menghadapi kelompok separatis Aceh dan Papua, menghadapi gangguan kelompok radikal, menghadapi konflik komunal, mengatasi perompak dan pembajak, mengatasi imigrasi ilegal, mengatasi penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut, mengatasi penebangan kayu ilegal, mengatasi penyelundupan, membantu pemerintahan sipil dalam mengatasi dampak bencana alam, penanganan pengungsi, bantuan pencarian dan pertolongan (Search and Rescue), pengamanan obyek vital, serta melaksanakan tugas-tugas perdamaian dunia.
Dalam konteks ini, dapat dinyatakan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara merupakan lembaga yang secara filosofis menyediakan pelayanan publik di sektor pertahanan. TNI melayani publik dalam hal berbagai gangguan dan ancaman yang dapat mengganggu masyarakat, bangsa dan negara. TNI berkewajiban untuk memberikan rasa aman bagi warga negara Indonesia dari serangan musuh baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tolok ukur keberhasilan pelayanan publik TNI di sektor pertahanan adalah apabila masyarakat merasa aman dan bebas dari segala ancaman dan keutuhan NKRI dapat dijaga.
Untuk saat ini, yang dimaksud dengan kondisi aman masyarakat yang terbebas dari segala ancaman adalah apabila masyarakat tidak dihantui lagi oleh aksi terorisme, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas negara, gangguan keamanan laut, perusakan lingkungan, imigran gelap, dan bencana alam. Untuk masalah perbatasan, TNI harus mampu menjaga setiap jengkal tanah air Indonesia dan menyediakan layananan rasa aman bagi masyarakat di sekitar wilayah perbatasan.
Institusi TNI harus menyediakan rasa aman (security sense) bagi masyarakat, bangsa dan negara. Apabila hal ini telah tercapai, maka dapat dikatakan bahwa pelayanan publik yang dilakukan oleh TNI telah berhasil dan patut mendapatkan apresiasi masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, pelayanan publik yang dilakukan TNI di sektor pertahanan adalah sangat vital bagi keberlangsungan bangsa.
TNI AD Melayani Publik Sektor Pertahanan Darat
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 8 dinyatakan bahwa TNI AD bertugas : melaksanakan tugas TNI matra darat di bidang pertahanan; melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat; dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.
Dari UU TNI tersebut sangat jelas terlihat bahwa TNI AD adalah alat pertahanan negara di sektor pertahanan darat. TNI AD diamanatkan untuk menjaga perbatasan darat wilayah Indonesia dari berbagai serangan musuh yang datang dari luar, baik berupa serangan militer negara asing maupun penyelundupan, kejahatan lintas negara, terorisme, dan lain-lain. Di samping itu, TNI AD juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan wilayah pertahanan dalam rangka mendukung terselenggarakannya sistem pertahanan semesta.
Dari sini dapat disimpulkan dengan jelas bahwa TNI AD merupakan institusi yang harus menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, bangsa dan negara di sektor pertahanan darat, khususnya masyarakat di wilayah perbatasan yang sangat rentan terhadap berbagai infiltrasi dan serangan musuh. Sudah menjadi kewajiban TNI AD sebagai aparat pelayanan publik di sektor pertahanan darat untuk menyediakan dan memberikan jasa keamanan kepada masyarakat sehingga masyarakat, terutama di perbatasan darat Indonesia, merasa aman dan terbebas dari segala potensi ancaman musuh.
Berbagai gelar pasukan TNI AD, baik Kotama maupun Koter, senantiasa diarahkan untuk pelayanan publik bagi masyarakat. Rasa aman masyarakat yang terbebas dari segala ancaman musuh yang datang dari dalam dan luar negeri merupakan indikator keberhasilan pelayanan publik di sektor pertahanan darat yang dilakukan oleh TNI AD.
Dalam rangka menyediakan pelayanan publik di sektor pertahanan darat, khususnya dalam hal pemberdayaan wilayah pertahanan, terutama di daerah, TNI AD wajib untuk melakukan pengelolaan terhadap komponen cadangan dan komponen pendukung, dengan cara, salah satunya, menyelenggarakan latihan dasar kemiliteran, bagi masyarakat sehingga apabila terjadi serangan pendadakan dari luar, masyarakat bisa memberdayakan diri sendiri. Apalagi untuk latihan dasar kemiliteran sudah diamanatkan dalam UU, meskipun PP nya belum ditetapkan.
Penutup
Departemen Pertahanan sebagai pembuat kebijakan publik di sektor pertahanan harus berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam merumuskan pokok-pokok kebijakan pertahanan negara, baik masyarakat, pemerintah, maupun TNI. Harus menjadi prinsip bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya masalah Dephan semata, melainkan masalah seluruh masyarakat Indonesia.
TNI sebagai pelaksana kebijakan publik dan penyedia pelayanan publik di sektor pertahanan harus benar-benar menyediakan rasa aman bagi masyarakat Indonesia dari segala ancaman musuh baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. TNI harus melaksanakan setiap tugas yang termuat dalam UU, baik tugas OMP maupun OMSP.
TNI AD sebagai penyedia pelayanan publik di sektor pertahanan darat harus mampu untuk memberikan ketenangan dan keamanan wilayah, khususnya masyarakat di wilayah perbatasan, wilayah konflik, wilayah terpencil dan wilayah rawan. Apabila masyarakt yang berada diwilayah yang disebutkan tadi dapat merasakan aman, maka fungsi pelayanan publik TNI AD dapat dinyatakan telah berhasil.
Dalam rangka melaksanakan tugasnya tersebut, tentunya Dephan, TNI, dan TNI AD harus selalu berkooridinasi dengan pihak-pihak terkait dan didukung oleh payung hukum yang jelas dan dukungan anggaran yang memadai. Fasilitas pendukung perlu diupayakan pemerintah agar supaya pelayanan publik yang dilakukan oleh TNI dan TNI AD dalam menjaga masyarakat dan keutuhan wilayah NKRI dapat terlaksana.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Pertahanan Negara
Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia 2003
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar Wilayah Indonesia
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor : PER / 01 / M / VIII / 2005 Tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Departemen Pertahanan
Doktrin Kartika Eka Paksi

    Sumber : https://agussubagyo1978.wordpress.com/category/kajian-tni/

0 komentar:

Posting Komentar

Breaking News
Loading...
Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 Tentara Nasional Indonesia All Right Reserved