Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si
A. Pengantar
Pada era Perang Dingin, hakekat ancaman, baik ancaman nasional maupun internasional, lebih didasarkan pada ancaman yang bersifat militer dan berasal dari eksternal. Agresi militer antara satu negara ke negara lain yang didorong oleh perluasan ideologi sangat mewarnai politik global saat itu. Faktor ideologi dan penekanan pada konsep ”national security” sangat menentukan bagi para pengambil keputusan, baik pada level nasional maupun global, dalam merumuskan hakekat ancaman.
Bagi Blok Barat, hakekat ancaman adalah negara-negara yang berideologikan sosialis-komunis dan yang menginduk pada Uni Soviet dalam koalisi Blok Timur. Bagi Blok Timur, hakekat ancaman adalah negara-negara yang berideologikan liberalis-kapitalis dan yang mengekor pada Amerika Serikat dengan bendera Blok Barat. Penentuan kawan atau lawan dalam percaturan politik global lebih didasarkan pada ideologi apakah komunis atau liberalis. Isu global yang muncul saat itu adalah isu keamanan tradisional/konvensional berupa agresi militer yang dilakukan oleh aktor negara (state actor).
Namun demikian, berakhirnya Perang Dingin telah membawa konsekuensi pada perubahan hakekat ancaman atas keamanan internasional. Berbeda dengan periode Perang Dingin, dalam periode pasca Perang Dingin, ancaman keamanan internasional bersifat masalah-masalah non-militer dan bersumber dari masalah lokal dan global. Dalam dasawarsa kedua periode pasca Perang Dingin ini, konflik skala rendah, terorisme internasional, kejahatan transnasional, terganggunya keamanan ekonomi, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, degradasi lingkungan, dan kelangkaan sumber daya alam merupakan isu-isu yang akan berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional dan internasional. Isu global yang muncul saat ini isu keamanan non tradisional/non konvensional yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara (non state actors).
Berdasarkan alur cerita di atas, tulisan ini sebenarnya ingin menjawab beberapa pertanyaan berikut : Apa yang dimaksud dengan Ancaman? Kerangka Konseptual-Teoritis apa yang dapat dipakai untuk memahami transformasi hakekat ancaman nasional, khususnya pasca Perang Dingin? Apa hakekat ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas bagi Pemerintah Indonesia saat ini? dan solusi apa yang dapat dilakukan untuk menangkal hakekat ancaman tersebut?. Semua pertanyaan di atas akan dicoba dijawab dalam uraian berikut ini.
B. Tipologi Ancaman
Secara konvensional, fungsi utama militer adalah memelihara pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan doktrin keamanan nasional (national security) sangat menentukan posisi militer dan juga hubungan sipil-militer. Pijakan utama formulasi doktrin pertahanan dan keamanan sebagai perangkat lunak adalah ”ancaman”, yang secara umum bisa dirumuskan menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan sumber ancaman. Dua kategori ancaman ini melahirkan 4 tipologi ancaman seperti tergambar dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel 1
Tipologi Ancaman
Tipologi Ancaman Militer Non-Militer
Eksternal Tipe 1 Tipe 3
Internal Tipe 2 Tipe 4
Sumber : Diolah kembali dari Alfred Stephan, The Military in Politics : Changing Patterns in Brazil, (Princeton : Princeton University Press, 1971) dan Barry Possen, The Source of Military Doctrine, (Ithaca : Cornell University Press, 1994).
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dikatakan bahwa sifat ancaman bisa dirumuskan menjadi ancaman militer dan non militer, sedangkan sumber ancaman dibagi menjadi ancaman internal dan eksternal. Tipe I adalah ancaman militer-eksternal yang mencakup agresi, invasi dan infiltrasi kekuatan militer bersenjata dari luar wilayah/teritorial suatu negara. Tipe 2 adalah militer-internal dalam bentuk pemberontakan separatis bersenjata atau gerakan disintegrasi bangsa yang menggunakan kekuatan senjata secara terorganisir dan terlatih (well armed) . Tipe 3 adalah ancaman non-militer-eksternal berupa Transnational Organized Crime (TOC) yang mencakup emigran gelap, drugs traficking, terorisme, aktivitas kriminal bajak laut, illegal fishing, human traficking, dan perusakan lingkungan. Tipe 4 adalah nonmiliter-internal seperti bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil, pelanggaran HAM, deskriminasi gender, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat sebagai individu atau warga negara.
Tipologi di atas secara normatif menuntut dengan tegas perbedaan pertahanan dan keamanan, dan sekaligus akan sangat mempengaruhi dimana peran militer. Di Indonesia, khususnya setelah reformasi, secara konvensional, ancaman pertahanan adalah tipe 1 dan tipe 2, yang kemudian menjadi wilayah yang dibebankan kepada militer (TNI). Sedangkan ancaman keamanan berkaitan dengan tipe 3 dan tipe 4 yang dibebankan kepada polisi dan elemen-elemen sipil lainnya.
C. Dari ”National Security” Menjadi ”Human Security”
Jika pada masa Perang Dingin, persepsi ancaman keamanan nasional setiap negara diformulasikan secara parsial hanya sebagai ancaman militer berupa agresi teritorial yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dalam konteks perang ideologi antara blok Barat dan blok Timur sehingga mengancam keamanan nasional, maka pada masa Pasca Perang Dingin, ancaman militer mulai mengendur digantikan oleh ancaman non militer berupa kejahatan Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan degradasi lingkungan yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara sehingga mengancam keamanan manusia.
Perubahan hakekat ancaman nasional setiap negara pasca Perang Dingin ini telah melahirkan sebuah konsep baru keamanan dalam literatur disiplin ilmu hubungan internasional, yakni konsep Human Security (keamanan manusia). Konsep human security lahir dan menguat pada masa pasca Perang Dingin sebagai pengganti konsep national security (keamanan nasional) yang eksis pada masa Perang Dingin. Konsep human security telah menjadi agenda baru keamanan internasional pasca Perang Dingin, yang kini tidak lagi berfokus pada isu-isu keamanan tradisional-konvensional berupa ancaman militer dari sebuah negara, tetapi pada isu-isu keamanan non tradisional-non konvensional yang datang dari para pelaku non negara. Tabel 2 berikut ini akan menguraikan secara lebih mendalam perbedaan antara paradigma National Security dan Human Security.
Tabel 2
Perbedaan Paradigma National Security
dan Human Security
Unsur Perbedaan National Security Human Security
Eksistensi Masa Perang Dingin Pasca Perang Dingin
Unit Analisis State Individu
Target Wilayah, Teritorial Hati, Pikiran, Jiwa
Basic Needs Kebutuhan fisik dasar Kebutuhan psikis dasar
Sifat Fisik, Statis Psikis,Dinamis
Wujud Kongkret, Empiris, Riel Abstrak, Laten, ideal
Jenis Tradisional, Konvensional Non tradisional, Non Kovensional
Dimensi Militer Ekonomi, Sosial, Politik, Komunitas, Personal, Lingkungan
Ancaman Invasi & Agresi Militer yang dilakukan oleh aktor negara Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, Kemiskinan, kelaparan, ketimpangan, degradasi lingkungan yang dilakukan oleh aktor non negara
Solusi Dihadapi dengan Kekuatan Bersenjata Dihadapi dengan membangun capacity building dan demokrasi
Menurut Bary Buzan, konsep-konsep keamanan pada masa Perang Dingin tidak lagi memadai, karena umumnya konsep ini dibangun dalam pengertian yang statis dan militeristik. Oleh karena itu, konsepsi lama mengenai keamanan bisa mengakibatkan kesalahan dalam menilai ancaman dan melahirkan kebijakan yang tidak tepat dalam menghadapinya. Seusai Perang Dingin, konsep keamanan berkembang dan paling tidak memiliki lima dimensi yang saling terkait dan tidak terisolasi satu sama lain, yaitu : militer, politik, ekonomi, societal, dan lingkungan.
Lebih lanjut Buzan mengatakan bahwa dalam mencapai keamanan, negara dan masyarakat tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis dan setara. Kerapkali, kedua belah pihak ini berada dalam posisi yang berlawanan. Kebutuhan untuk menciptakan dan memelihara keamanan negara seringkali mengorbankan hak-hak individu warga negara, sebagaimana umumnya terjadi di negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi Komunis selama periode Perang Dingin. Dengan kata lain, aman bagi negara belum tentu aman bagi warga negara yang berada di dalamnya. Hal ini disebabkan karena seringkali negara, yang mengatasnamakan keamanan nasional, keutuhan teritorial, dan stabilitas politik-keamanan, melakukan tindakan represif terhadap warga negaranya sehingga menciptakan feel of human insecurity.
Walaupun masih terus diperdebatkan hingga kini, konsep human security bisa memberikan bingkai pemahaman terhadap perubahan hakekat ancaman nasional pasca Perang Dingin. Konsep Human Security diperkenalkan secara resmi untuk pertama kalinya oleh UNDP dalam laporan tahunannnya yang berjudul ”Human Development Report 1994”. Laporan tersebut menyatakan bahwa :
”Sudah terlalu lama konsepsi keamanan dibentuk oleh potensi konflik antar negara. Sudah terlalu lama keamanan dikaitkan dengan ancaman terhadap batas wilayah sebuah negara. Sudah terlalu lama bangsa-bangsa mencari senjata untuk melindungi keamanannya”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, UNDP mengajukan sebuah rumusan baru untuk keamanan yang diawali dengan pemahaman bahwa keamanan berarti :
”Keamanan dari ancaman terus-menerus dari rasa lapar, penyakit, kejahatan, dan penindasan… perlindungan terhadap gangguan yang membahayakan atas kehidupan sehari-hari – baik dirumah, tempat kerja, masyarakat atau lingkungan”.
Menurut UNDP, definisi konsep human security mengandung dua aspek penting. Pertama, human security merupakan “keamanan (manusia) dari ancaman-ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit dan represi. Kedua. Human security juga mengandung makna adanya ”perlindungan atas pola-pola kehidupan harian seseorang –baik di dalam rumah, pekerjaan, atau komunitas dari gangguan-gangguan yang datang secara tiba-tiba serta menyakitkan”.
Selanjutnya, UNDP mengidentifikasi tujuh komponen human security, yaitu : economic security, food security, health security, environmental security, personal security, community security dan political security. Konsep dasar human security menekankan pentingnya empat karakter esensial, yakni bahwa konsep human security haruslah : Universal, independen, terjamin melalui pencegahan dini, dan berbasis pada penduduk (people centered).
Hal yang menarik dari konsep yang diajukan oleh UNDP ini adalah karena konsep human security berangkat dari konsep hak asasi manusia yang menjadi landasan pendirian Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dihasilkan dari Konferensi San Francisco pada bulan Juni 1945. ketika itu, dirumuskan bahwa keamanan memiliki dua komponen penting, yakni freedom from fear dan freedom from want. Sejauh ini, konsepsi keamanan banyak didasarkan pada komponen pertama sehingga menghasilkan konsepsi national security dan kurang mengabaikan komponen kedua sehingga menghambat lahirnya konsepsi human security.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradigma human security hadir untuk menegaskan bahwa terciptanya kondisi national security suatu negara belum tentu menjamin perasaan aman bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Suatu negara akan dapat dikatakan memiliki keamanan nasional yang tangguh apabila keamanan individu-manusia yang ada di dalamnya merasa terjaga secara utuh dan komprehensif.
D. Ancaman Keamanan Manusia
Setelah kita mengetahui hakekat ancaman, khususnya perubahan hakekat ancaman nasional pasca Perang Dingin, maka dalam konteks Indonesia, yang perlu diuraikan selanjutnya adalah hakekat ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas bagi Pemerintah Indonesia saat ini, khususnya dalam proses transisi menuju demokrasi yang terus berjalan sekarang ini.
Berdasarkan pada tipologi ancaman sebagaimana telah diuraikan di depan kemudian dikaitkan dengan perubahan hakekat ancaman pasca Perang Dingin, penulis memberanikan diri untuk menyatakan bahwa ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas penanganannya bagi Pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Ancaman Non Militer- Eksternal
Yang dimaksud dengan ancaman non-militer-eksternal adalah berupa Transnational Organized Crime (TOC) yang mencakup emigran gelap, drugs traficking, aksi terorisme, hijacking, illegal fishing, human traficking, illegal logging, dan perusakan lingkungan.
2. Ancaman Non Militer-Internal
Yang dimaksud ancaman nonmiliter-internal adalah berupa bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil/SARA, pelanggaran HAM, deskriminasi gender, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat sebagai individu atau warga negara.
Baik ancaman non militer-ekternal maupun non militer-internal merupakan ancaman yang berfokus bukan pada keamanan manusia, bukan keamanan nasional yang ingin merebut dan menduduki suatu wilayah tertentu dari sebuah negara. Ambil contoh aksi terorisme misalnya, sasarannya adalah manusia dengan medium peledakan bom. Kelompok teroris tidak bertujuan menguasai wilayah tertentu. Hal ini berbeda dengan agresi militer suatu negara yang bertujuan merebut dan menduduki wilayah dari negara yang didudukinya tersebut.
Prioritas penanganan pada ancaman yang bersifat non militer baik internal maupun eksternal ini bukan berarti mengabaikan sama sekali ancaman yang bersifat militer-eksternal dan militer internal. ancaman militer tradisional-konvensional dari luar bukan berarti tidak ada. Ancaman militer dari luar tetap ada. Hal ini diindikasikan dengan era ancaman perang nuklir yang tidak disertai dengan penghapusan senjata nuklir, konflik perbatasan antar negara, dan serangan negara adikuasa terhadap negara kecil atas nama ”humanitarian intervention”.
Namun demikian, ancaman agresi militer asing yang bersifat teritorial sudah sangat minimal dan out of qouestion. Ancaman agresi teritorial kurang diprioritaskan karena menunjuk pada perkembangan berikut ini: (1) tumbuhnya norma universal yang makin kuat melandasi hukum internasional untuk menentang agresi militer yang termanifestasikan dalam Piagam PBB; (2) anggapan umum bahwa kekuatan militer semakin tidak efektif dalam dalam menyejahterakan dan membesarkan negara dan bangsa, dan bahkan malah counter productive; (3) keterkaitan dan ketergantungan antar negara; (4) gelombang demokrasi dan hak asasi manusia diseluruh dunia.
Berkaitan dengan gerakan separatisme bersenjata atau gerakan disintegrasi bangsa, hendaknya kita merubah pola pikir bahwa gerakan separatisme sudah selayaknya dianggap sebagai tantangan, dan bukan ancaman. Alasannya adalah bahwa munculnya separatisme diasumsikan sebagai kegagalan negara dalam membangun sistem ekonomi, sosial dan politik bangsa sehingga menimbulkan fenomena disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia ditantang untuk menyelesaikan gerakan separatisme sebagai akibat dari krisis ekonomi, sosial, dan politik. Penyelesainnya pun tidak bisa hanya dengan menggunakan pendekatan keamanan, melainkan harus mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Memang, mengubah pola pikir semacam ini tidak mudah, khususnya dari kalangan yang masih berpegang teguh pada paradigma lama keamanan nasional yang tradisional.
Dalam pandangan TNI AD, berbagai ancaman nasional, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar, dan baik yang bersifat militer maupun non militer, seperti telah disebutkan di atas, merupakan bagian dari ancaman yang disebut dengan istilah ”Perang Modern”. Istilah ancaman Perang Modern yang diperkenalkan pertama kali oleh Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Ryamizard Rizacudu, ini kemudian disosialisasikan secara getol oleh Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Danseskoad), Mayjen. Syarifudin Tippe, S.IP., M.Si.
E. Apa Solusi Penangkalnya?
Menurut George Mac lean, seorang akademisi dari Manitoba University, Kanada, pada intinya tugas pengelolaan keamanan suatu negara memiliki dua tujuan esensial, yakni : (1) memelihara keutuhan wilayah negara dan intergritas nasional – tujuan keamanan ; dan (2) memastikan tersedianya barang-barang publik yang terdistribusi dengan baik bagi warga negara – tujuan kesejahteraan.
Dari pendapat Mac Lean tersebut kemudian dikaitkan dengan solusi dalam menangkal hakekat ancaman nasional bangsa Indonesia, maka yang perlu ditekankan saat ini adalah prioritas pada pendekatan kesejahteraan mengingat hakekat ancaman yang dihadapi adalah ancaman yang bersifat non tradisional alias berdimensi manusia, dan bukan pada pendekatan keamanan yang memfokuskan ancaman militer tradisional alias berdimensi teritorial.
Langkah-langkah yang harus diambil bangsa Indonesia dalam menangkal ancaman nasional non tradisional yang mengancam eksistensi keamanan manusia adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat State Building, Nation Building dan Character Building
State Building diperlukan untuk menciptakan supra struktur yang kuat sehingga lahir institusi-institusi demokratis yang kuat dalam menangkal setiap hakekat ancaman yang muncul.Nation Building dibutuhkan dalam rangka membangun civil society organization (CSO’s) sehingga dapat dijadikan ujung tombak dalam proses pendidikan multikultural tentang arti penting dari universalitas konsep keamanan manusia. Character Building diarahkan untuk membentuk karakter pribadi manusia Indonesia sehingga mampu djadikan filter dalam membentengi diri dari penetrasi asing yang tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan telah melebar ke non fisik.
2. Program Capacity Building Untuk Demokrasi
Demokrasi yang didalamnya terdapat norma-norma inti seperti kebebasan individu, supremasi hukum, persamaan hak, dan akuntabilitas harus diterapkan ke dalam struktur bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi dapat memperbesar peluang bagi perlindungan serta implementasi kebijakan keamanan yang mengutamakan keamanan manusia. Oleh karena itu, untuk menyebarkan dan menginternaslisasi nilai-nilai demokrasi di masyarakat Indonesia harus disertai dengan proses capacity building yang di dalamnya terdapat penguatan struktur dan institusi yang demokratis. Pada titik ini, kapasitas/kapabilitas pemerintah dalam kaitannya dengan isu keamana manusia menjadi sangat penting. Kemampuan yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk menciptakan keamanan manusia adalah merumuskan local policing, local governance, kerjasama transnasional dan pendekatan legal, konstitusional serta yuridis.
F. Catatan Punutup
Dari serangkaian pembahasan di atas, terdapat beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam memahami hakekat ancaman nasional, khusunya pergeseran dari konsep national security menjadi human security.
Pertama, tipologi ancaman nasional setiap negara sangat bervariasi, mulai dari ancaman militer-ekternal, militer-internal, sampai dengan ancaman non militer-ekternal, non militer-internal. Secara konseptual, keempat tipe ancaman nasional tersebut dapat disebut sebagai ancaman keamanan tradisional dan ancaman keamanan non tradisional.
Kedua, Human Security merupakan sebuah konsep yang dapat dijadikan kerangka analisis untuk memahami perubahan hakekat ancaman nasional yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konsep human security telah menggeser konsep national security yang telah dianut oleh negara-negara di dunia selama masa Perang Dingin.
Ketiga, ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas penanganan bagi bangsa Indonesia adalah ancaman non militer-internal dan non militer-ekternal. Kedua ancaman ini secara langsung dapat membahayakan eksistensi keamanan manusia yang saat ini telah menjadi tren global.
Keempat, solusi untuk menangkal ancaman nasional bangsa Indonesia, khususnya ancaman keamanan manusia adalah dengan : (1) memperkuat state building, nayion building dan character building; (2) program capacity building untuk demokrasi.
Catatan Kaki
Dirangkum dan diolah dari Ari Sujito dan Sutoro Eko (ed.), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, (Yogyakarta : IRE Press, 2002), hlm. 6-7.
Ibid.
Ada lima dimensi konsep keamanan, yakni : (1) the origin of threats; (2) the nature of threats ; (3) changing reponse; (4) changing responsibility of security; (5) core value of security. Dikutip dari Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No. 1, hlm. 71 – 72.
Pemahaman mendalam tentang pergeseran paradigma keamanan pasca Perang Dingin ini dapat dibaca pada Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991), hlm. 19 – 20.
Ibid.
Dikutip dari Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1, hlm. 47.
Ibid.
Ibid.
Landry Haryo Subianto, “Konsep Human Security : Tinjauan dan Prospek”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1, hlm. 106
Op. Cit.
Tentang terorisme dan kaitannya dengan konsep human security, baca Poltak Partogi Nainggolan, “Terorisme dan Perspektif Keamanan Pasca Perang Dingin, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1, hlm. 69 – 89.
Majalah Tempo, 27 September 2004, hlm. 57.
Ibid.
Menurut Komandan Seskoad ini, upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi ancaman Perang Modern, yang fokus serangannya pada eksistensi individu manusia dari rasa aman adalah dengan membentengi hati dan pikiran manusia melalui nilai-nilai spiritualitas. Nilai-nilai spiritualitas berfungsi sebagai filter yang akan menyaring dan membentengi diri dari berbagai penetrasi asing yang masuk melalui medium-medium IPOLEKSOSBUDHANKAM. Lihat Syarifudin Tippe, “Perang Modern”, makalah yang disampaikan dalam seminar ASPAC on ASET bertema Meningkatkan Kompetensi SDM Sebagai Pendidik, Pelatih, Peneliti & Pengembangan Yang Dilandasi Oleh Art, Science, Engineering, and Technology, yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung pada hari Kamis, 7 Oktober 2004 di Universitas Parahyangan Bandung
George Mac Lean, “The United Nations and the New Security Agenda”, dalam
http://www.unac.org/canada/security/maclean.html.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred Stephan, The Military in Politics : Changing Patterns in Brazil, (Princeton : Princeton University Press, 1971)
Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No. 1
Ari Sujito dan Sutoro Eko (ed.), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, (Yogyakarta : IRE Press, 2002)
Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991)
Barry Possen, The Source of Military Doctrine, (Ithaca : Cornell University Press, 1994).
Landry Haryo Subianto, “Konsep Human Security : Tinjauan dan Prospek”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1
Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1
Poltak Partogi Nainggolan, “Terorisme dan Perspektif Keamanan Pasca Perang Dingin, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1
Syarifudin Tippe, “Perang Modern”, makalah yang disampaikan dalam seminar ASPAC on ASET bertema Meningkatkan Kompetensi SDM Sebagai Pendidik, Pelatih, Peneliti & Pengembangan Yang Dilandasi Oleh Art, Science, Engineering, and Technology, yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung pada hari Kamis, 7 Oktober 2004 di Universitas Parahyangan Bandung
Tempo, 27 September 2004
Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung
0 komentar:
Posting Komentar